Minggu, September 28, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi: Isu 1 (lanjutan 2)

Melanjutkan obrolan isu 1 sebelumnya . . .

Langkah penting lain yang perlu dilakukan adalah membangun komunitas praktik (community of practices) sistem inovasi, menghimpun dan menyebarluaskan praktik baik, meningkatkan kajian dan pembelajaran kebijakan inovasi. Jejaring antarpihak yang tidak saja memiliki "minat" namun juga sebagai "pelaku" (langsung ataupun tidak langsung) sangat penting; Ini dapat berupa jejaring antarorang, antarlembaga/organisasi, antardaerah, maupun kombinasinya. Pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang baik tentu akan membantu proses pembelajaran. Banyak contoh yang telah dilakukan di negara lain. Di antara yang mungkin dapat kita adopsi adalah apa yang dilakukan oleh Uni Eropa. Silahkan dipelajari. Saya yakin banyak pelajaran positif yang dapat kita petik dari sana.

Upaya ketiga adalah mempercepat pengarustamaan sistem inovasi dalam kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Maksudnya, pemuatan pendekatan sistem inovasi dan perbaikan kebijakan inovasi mestinya menjadi bagian integral dari konsep/rencana atau agenda strategis pembangunan, baik pada tataran nasional maupun daerah. Jika tidak, ya hanya sekedar "kosmetik" pembangunan saja, dan akan kehilangan ”ruh” reformasi yang menuju peningkatan daya saing dan penguatan kohesi sosial.


Kita belajar, banyak konsep yang berhasil di negara lain tetapi tak begitu menggembirakan ketika diimplementasikan di Indonesia. Sebagian (mungkin sebagian besar) saya kira terjadi lebih karena ”kurang seriusnya dan istiqomah (konsistennya)” kita mengimplementasikannya. Perlu contoh? Tengok misalnya tentang modal ventura (venture capital), inkubator, klaster industri, insentif pajak untuk litbang, dan masih banyak lagi . . . .

Nah, dalam langkah ketiga yang saya usulkan ini, perlu dilakukan melalui upaya antara lain seperti:

  • Mendorong agar pengembangan sistem inovasi menjadi konsensus politik berkelanjutan dan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Pengembangan/penguatan sistem inovasi merupakan proses panjang, yang keberhasilannya sangat ditentukan oleh kehendak politik (political will), konsensus politik, dan komitmen politik dalam waktu yang panjang sehingga menjadi suatu politik negara dan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional dan daerah, bukan sekedar agenda pelengkap dalam pembangunan. Bayangkan kalau setiap perubahan pemerintahan yang mungkin diwarnai oleh perubahan kekuatan politik, kita harus selalu kembali dan memulai dari “titik nol”, berdebat ulang perlu-tidaknya kita memperkuat sistem inovasi di Indonesia . . . .
  • Menyelaraskan kebijakan iptek dan kebijakan pembangunan lainnya, khususnya pembangunan ekonomi, sosial budaya dan hukum. Mengapa demikian? Karena kebijakan inovasi yang esensinya membutuhkan koherensi kebijakan sektoral, kebijakan nasional-daerah, dan penadbiran (governance) sistem inovasi yang sesuai, tidak akan dapat efektif jika kebijakan iptek dan kebijakan pembangunan lainnya masih bersifat parsial, terfragmentasi, tidak konsisten dan bahkan bertentangan satu dengan lainnya. Penyelarasan kebijakan perlu dilakukan pada berbagai tataran dan cara, baik melalui upaya yang lebih bersifat top-down bottom-up, maupun proses partisipatif yang demokratis, transparan, akuntabel, dan adil.

Keempat, membangun basis data dan indikator sistem inovasi. Penataan mendasar yang perlu dilakukan termasuk penataan/pengembangan basisdata di tingkat nasional dan daerah berkaitan dengan sistem inovasi. “Kelemahan data” merupakan kelemahan umum bagi perencanaan dan kebijakan di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah. Maaf, kondisi kelemahan data di berbagai bidang seperti ini sering bikin saya gregetan [mungkin sebagian peneliti] . . .

Kelima, mengupayakan konsensus untuk melakukan reformasi kebijakan inovasi yang berfokus pada isu prioritas. Mengapa? Setiap negara (atau daerah) dan tingkatan perkembangan (stages of development) dihadapkan pada tantangan sistem inovasi yang berbeda. Dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi, tidak berlaku pendekatan one size fits all. Upaya pengembangan/penguatan sistem inovasi memang dapat memanfaatkan “pelajaran” dari pihak lain (daerah/negara lain), termasuk memanfaatkan praktik-praktik baik/terbaik (good/best practices). Para pihak pun sebenarnya tidak perlu “terjebak” dalam reinventing the wheel. Akan tetapi segi-segi positif universal yang diperoleh (dari keberhasilan/kegagalan) tetap memerlukan “penyesuaian” kontekstual sesuai dengan karakteristik dan perkembangan masing-masing “kasus” negara/daerah. Karena itu, langkah reformasi kebijakan inovasi perlu berfokus pada isu-isu prioritas sesuai kondisi/konteksnya dan diletakkan dalam perspektif jangka panjang.

Wallahu alam bissawab . . .


Ini esensi utama usulan saya berkaitan dengan isu strategis 1 dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi di Indonesia.
Insya Allah saya lanjutkan di lain kesempatan . . .

Baca Selanjutnya...

Sabtu, September 27, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi: Isu 1 (lanjutan)

Ini merupakan lanjutan dari obrolan sebelumnya . . .

Belajar dari beberapa konsep dan pengalaman empiris di banyak negara, kita dapat menarik kesimpulan antara lain bahwa sistem inovasi (pada tataran nasional maupun daerah) pada dasarnya tidak berkembang dengan sendirinya dan terjadi serta-merta. Ya di sinilah muncul masalah/tantangan yang oleh kalangan akademisi biasanya disebut sebagai ”isu kebijakan” (elaborasi lebih detail tentang ini dan bentuknya bisa dilihat dalam banyak literatur, juga dapat dilihat dalam beberapa tulisan saya yang terkait). Karena itu, intervensi (kebijakan publik) diperlukan untuk mendorong perkembangan/perkuatan sistem inovasi. Konsep/pendekatan sistem inovasi ini memberikan pijakan bahwa kita menyadari dan perlu melihat bahwa yang terjadi umumnya adalah "kegagalan sistemik" (systemic failures). Intervensi atau kebijakan untuk mendorong pengembangan/penguatan sistem inovasi (yang biasanya disebut dengan kebijakan inovasi).

Saya sering menegaskan bahwa kebijakan inovasi hakikatnya bersifat horisontal, vertikal, temporal, dan sangat erat dengan proses pembelajaran (learning process) untuk mendorong pengembangan kapasitas inovatif. Horisontal, karena ini menyangkut multibidang/departemen/kementerian/lembaga/organisasi . . . Vertikal, karena kebijakan inovasi bukan hanya ranah dan tanggung jawab ”Pemerintah Pusat” saja tetapi juga ranah dan tanggung jawab ”Pemerintah Daerah” . . . . Temporal, karena akan menyangkut agenda dan keberlanjutan antarwaktu, antargenerasi . . . Merupakan proses pembelajaran, karena perbaikan hanya dapat dilakukan jika penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan (stakeholders) dapat memetik pelajaran berharga dari pengalaman dan senantiasa memperbaiki diri masing-masing dan secara bersama . . . Kalau tidak, ”ya kita belajar bahwa kita memang tak pernah belajar" [maaf], kebijakan tak pernah semakin baik, kesalahan/kegagalan terjadi berulang, dan sistem inovasi ya seakan jalan di tempat saja . . . .

Oleh karena itu, kebijakan inovasi berkaitan erat dengan perubahan, fleksibilitas, dinamisme dan masa depan. Ranah (domain) kebijakan inovasi pada dasarnya tidak saja mencakup atau berkaitan dengan kebijakan iptek saja (termasuk berkaitan dengan aktivitas litbang), tetapi juga kebijakan industri, kebijakan daerah dan kebijakan pendidikan, serta beberapa kebijakan relevan lainnya. Ini memang yang sering tidak mudah diterima dan/atau membuat repot suatu rejim pemerintahan yang kebijakannya sangat sektoral dan terfragmentasi serta ”terbiasa” hanya berpikir untuk saat kini, "puas" dengan merancang agenda jangka pendek saja dan mengharapkan bisa memperoleh dampak seketika.

Kebijakan inovasi perlu mempertimbangkan beragam isu yang mempengaruhi tekanan untuk perubahan (misalnya kebijakan persaingan), isu yang mempengaruhi kemampuan berinovasi dan menyerap perubahan (misalnya peningkatan kualitas SDM), dan mempertimbangkan kelompok-kelompok masyarakat yang mungkin “dirugikan” akibat kemajuan/perubahan yang terjadi. Karena itu, kuranglah tepat kerangka agenda yang seolah membenturkan upaya investasi untuk peningkatan daya saing dan kohesi sosial, serta pengembangan sistem inovasi dengan isu-isu atau pertimbangan lainnya yang lebih bersifat jangka pendek (yang umumnya dinilai lebih mendesak) sebagai situasi yang mutually exclusive dalam suatu kerangka upaya pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan yang semakin tinggi dan semakin adil secara berkelanjutan.

Jadi tak perlu heran misalnya kalau keinginan untuk memberikan insentif pajak bagi pengembangan perusahaan pemula yang inovatif itu dianggap tidak favourable atau tidak pernah populer, karena ”jelas” merugikan pendapatan negara dari pajak. Lha wong perusahaan demikian kan sangat berisiko, belum tentu berhasil dan memberikan dampak sosial ekonomi di masa depan. Program/kegiatan penelitian, pengembangan dan rekayasa (litbangyasa) yang bersifat strategis dan jangka panjang tak akan pernah mendapat ”dukungan serius” (atau setidaknya ”simpatik”) kalau diletakkan dalam portfolio pendanaan yang sama dengan kegiatan pemberian BLT [maaf, ini sekedar contoh]. Walaupun secara politis yang pertama sangat boleh jadi penting bagi esensi mempertahankan kemerdekaan teknologi (dan kedaulatan NKRI), namun secara politis juga biasanya tidak populer. Sikap ”mendikotomikan” seperti ini sering menjebak kita dalam situasi yang seolah tidak pro rakyat kalau suatu program/kegiatan tidak memberikan dampak yang langsung kepada rakyat. Kata orang sono, pilihan dukungan pada kegiatan litbangyasa demikian akan berisiko menjadi politically incorrect lho.

Tokoh politik atau partai politik mana yang dalam situasi sekarang (dan menghadapi Pemilu 2009) berani berargumen bahwa insentif pajak untuk mendorong perusahaan inovatif (khususnya perusahaan pemula) itu sangat penting dalam modernisasi bisnis dan ekonomi nasional masa depan? Risikonya, penerimaan pajak kita (dalam jangka pendek) mungkin menurun lho? Siapa sih yang berani memperjuangkan pembenahan dalam sistem pembiayaan berisiko (risk financing/capital) karena itu akan sangat mempengaruhi perkembangan inovasi di Indonesia? Kan lebih "aman" utak-atik skema perbankan saja, yang jelas dipahami dan diperlukan banyak orang . . . he . . . he . . . Wah, kayak ngelantur ya.

Kembali ke isu yang saya angkat di awal pembicaraan, lantas apa yang sebaiknya dilakukan?

Menurut saya, idealisasinya begini. Langkah reformasi kebijakan inovasi yang diperlukan oleh Indonesia sebenarnya adalah pada upaya meletakkan/mengembangkan dinamisme dan fleksibilitas yang mendorong perkembangan sistem inovasi yang semakin mampu beradaptasi dengan perkembangan yang dihadapi dalam menciptakan, memanfaatkan dan mendifusikan pengetahuan (dalam arti luas) yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi, dengan mempertimbangkan kondisi seperti yang disampaikan sebelumnya dan untuk mengembangkan/memperkuat sistem inovasi secara bertahap, adaptif dan antisipatif dalam rangka mewujudkan sistem inovasi nasional yang tangguh di masa depan, isu 1 ini jangan sampai diabaikan.

Mbulet ya ngomongnya. Ya mungkin, tapi ini karena ketidakpandaian saya mengungkapkan dengan sederhana, mohon maaf. Silahkan diperbaiki pengartikulasiannya . . .

Nah kembali kepada isu 1 yang pernah saya singgung, maka menurut saya kita memang perlu ”memperbaiki kondisi dasar sebagai prasyarat bagi peningkatan upaya pengembangan/penguatan sistem inovasi.”

Kongkritnya? Pertama, melakukan peningkatan kapasitas pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingan tentang sistem inovasi. Banyak cara dan media untuk melakukan hal ini. Saya kira keterlibatan kalangan media massa sangat penting [mudah-mudahan ada jurnalis iptek yang membaca blog ini dan berprakarsa menggalang partisipasi langkah ini]. Fora (forum-forum seperti diklat, TOT, seminar, workshop dan sebagainya) perlu dilakukan, tetapi sebaiknya terorganisasi dengan baik. Mungkin diklatpim di kalangan pegawai negeri (dan juga LEMHANAS?] sudah saatnya memuat topik-topik relevan dalam hal ini. Bahkan menurut saya, awareness campaign di kalangan partai politik sudah saatnya dilakukan. Bukankah para tokoh politik itulah [setidaknya mulai 2009] yang akan mewarnai perubahan kebijakan inovasi Indonesia di masa depan?

Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Jumat, September 26, 2008

Selamat Iedul Fitri 1429H

Semoga Ramadhan yang suci dan Hari yang fitri dapat menjadi lentera yang menerangi dan meluaskan pintu maaf Ibu dan Bapak bagi saya dan keluarga
atas hati yang berprasangka,
atas sikap yang menyakitkan,
atas lisan yang tak terjaga,
atas tindakan yang merugikan,
atas tulisan yang semena-mena,
atas janji yang terabaikan,
atas kesombongan yang menyebalkan . . .

Selamat Iedul Fitri 1429H
Semoga Allah mengampuni segala kesalahan dan dosa kita, serta menerima amal-ibadah kita.
Taqabbalallaahu minna wa minkum, shiyaamana wa shiyaamakum.

Baca Selanjutnya...

Pengembangan Sistem Inovasi: Isu 1

Seperti saya janjikan, saya akan berbagi opini tentang isu strategis dalam pengembangan sistem inovasi di Indonesia secara umum.

Saya pernah mengutarakan bahwa kalau mencermati persoalan yang dihadapi oleh Indonesia dan memetik pelajaran berharga dari mereka yang dinilai berhasil, maka setidaknya ada empat elemen strategis yang harus dibenahi dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi di Indonesia, yaitu

  1. Kondisi dasar yang belum teratasi sebagai prasyarat agar upaya pengembangan/penguatan sistem inovasi dapat ditingkatkan;
  2. Persoalan/isu pokok yang perlu dipecahkan agar sistem inovasi berkembang dan kemajuannya dapat dipercepat;
  3. Rendahnya kepeloporan untuk melakukan perbaikan dalam jangka panjang; dan
  4. Fragmentasi kebijakan di berbagai bidang.

Untuk yang pertama, ini lebih menyangkut beberapa kondisi dasar yang belum teratasi sebagai prasyarat agar upaya pengembangan/penguatan sistem inovasi dapat ditingkatkan. Contoh persoalan ini adalah sebagai berikut:

  • Terbatasnya pemahaman pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingan tentang sistem inovasi. Rasanya gak ilmiah banget ya pernyataan ini. Tapi dalam banyak kesempatan berkaitan dengan topik ini (seminar, diskusi, dan sejenisnya), saya hampir selalu bisa menyimpulkan [mohon maaf, sok tau ya] bahwa memang yang telah mengetahui tentang ini masih relatif sedikit. Ini bisa dimaklumi karena wacana-wacana tentang ini memang baru terjadi di kalangan terbatas.
  • Keterbatasan kepakaran, praktik atau contoh keberhasilan, dan praktisi dalam mendorong gerakan yang dapat memberikan pengaruh pengembangan sistem inovasi secara signifikan di berbagai bidang, daerah dan/atau tataran/konteks tertentu. Serupa dengan hal pertama, kita memang belum memiliki banyak pakar dan contoh keberhasilan tentang ini. Hubungan antar-”praktisi” yang menelaah hal demikian juga masih sangat lemah. Jadi tidak mudah bertukar/berbagi pengetahuan atau pengalaman dalam hal terkait.
  • Belum ada keterpaduan pengembangan sistem inovasi dalam pembangunan. Kebijakan inovasi yang esensinya membutuhkan koherensi kebijakan sektoral, kebijakan nasional-daerah, dan penadbiran (governance) sistem inovasi tidak akan dapat efektif jika kebijakan iptek dan kebijakan pembangunan lainnya masih bersifat parsial, terfragmentasi, tidak konsisten dan bahkan bertentangan satu dengan lainnya. Ya memang konsep/pendekatan ini belum menjadi “arus utama” (mainstream) dalam pembangunan. “Pejabat atau tokoh penting” yang concerned tentang ini nyaris tidak ada. Jika pun ada, tidak (kurang) memiliki pengaruh signifikan dalam perbaikan kebijakan di negeri ini. Ini juga berlaku bagi partai politik yang berpengaruh. Kalaupun ada, jumlah dan pengaruh suaranya sangat tipis. Perhatikan saja misalnya seputar UU No.18/2002. Seberapa sungguh-sungguh dan mampu legislatif membantu membenahi penganggaran dan mengawasi efektivitasnya beserta aturan turunannya? He . .he . . . maaf
  • Keterbatasan data dan indikator SI yang berkualitas sebagai landasan pemantauan, dan evaluasi, serta proses pembelajaran dan perbaikan kebijakan. Dalam banyak diskusi, gambaran sistem inovasi Indonesia (pada tataran nasional ataupun daerah) bolak-balik ditanyakan. Tapi nyaris tidak ada jawaban memuaskan tentang ini. Lha lantas siapa yang ”semestinya” melakukannya (atau menyediakannya)? Akhir 2004 saya pernah menyusunnya dalam buku, tapi itupun hanya menggunakan data ”sekunder” untuk memberikan gambaran umum dalam tulisan/buku tersebut. Untuk membuat ”kajian” dengan survei serupa PERISKOP, wah saat itu terlampau ”mahal.” Data, indikator, kajian memang tidak menghasilkan barang berwujud yang ”menarik,” membuat ta’jub dan berdecak banyak orang (paling banter berupa buku atau e-file); dan tidak akan membuat orang menjadi kenyang. Saat itu memang hal seperti ini masih dianggap sebagai ”hobi” segelintir peneliti saja. Tapi ironis jika pertanyaan ini masih juga diajukan oleh beberapa anggota DPR yang terhormat dan tetap masih tanpa jawab saat kini.
  • Berbagai kelemahan dalam sistem inovasi yang sangat memerlukan solusi kebijakan yang lebih baik. Sudah bisa ditebak, dengan kondisi seperti disebutkan, maka banyak kelemahan yang dimiliki dalam sistem inovasi di Indonesia. Ini termasuk juga yang diidentifikasi dalam kelompok isu kedua. Tetapi dalam kelompok isu ”prasyarat,” yang saya kira sering menghambat adalah kita sering atau cenderung ”menghindar” atau tidak mau mendiskusikannya manakala ada isu kebijakan yang berada dalam ”ranah” departemen/kementerian/lembaga atau daerah lain. Seolah, mengharap pihak lain akan mengerti dengan sendirinya dan akan membenahinya, merupakan pilihan terbaik, memang harus demikian praktiknya, tidak berisiko membuka konflik, sehingga ya akan aman secara politis.

Bagaimana menyikapinya? Ada beberapa usulan saya tentang ini. Bersambung . . . .

Baca Selanjutnya...

Selasa, September 23, 2008

Sistem Inovasi Daerah di Indonesia (?)

Sistem inovasi yang berorientasi pada spesialisasi kewilayahan menjadi kunci keberhasilan pengembangan riset dan aplikasinya. Di sisi lain, sistem inovasi di tingkat daerah dan nasional ini masih diabaikan Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Padahal, banyak hasil riset memiliki potensi aplikasi . . . (lihat Kompas, 23 September 2008).

Sorotan Komisi VII DPR atas "pengabaian" sistem inovasi ini menarik dan tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Secara "sederhana", sistem inovasi nasional (national innovation system) dapat "diiris" atas dua dimensi, yaitu: yang berbasis "sektor" (sector-wise sub-national innovation system), dan yang berbasis "teritori/wilayah" (territorial-wise sub-national innovation system). Nah, kalau mau jujur, pada tataran nasional, sektor maupun kewilayahan, upaya pengembangan atau penguatan sistem inovasi di Indonesia memang masih pada taraf "diwacanakan". Embrio prakarsa sebenarnya pernah ada, bahkan sudah terhitung lumayan lama. Mungkin dapat dikatakan bahwa prakarsa dalam hal ini tidak terlampau tertinggal jauh dari prakarsa-prakarsa negara tetangga di ASEAN. Namun posisi ini kini sudah berbeda.

Sekedar menyebut contoh, tahun 2001an, KNRT bekerjasama dengan Pemerintah Jerman pernah memprakarsai PERISKOP yang mulai menelaah gambaran sistem inovasi daerah ini. Persoalan klasiknya, tindak lanjut yang masih lemah . . .

BPPT juga pernah memprakarsai pengembangan sistem inovasi daerah ini di tahun 2004-2005 dengan bekal sumber daya minimum. Sumber referensi dipelajari, panduan disiapkan, workshop-workshop digelar . . . Saat itu saya pernah berangan mendorong prakarsa yang disebut "Gerbang Indah Nusantara" (Gerakan Membangun Sistem Inovasi Daerah di seluruh wilayah Nusantara). Wah, namanya keren . . . Sayang, tidak berlanjut konsisten . . . Walaupun begitu, beberapa daerah masih mengontak berdiskusi untuk mengimplementasikannya (misalnya Kota Surakarta dan Kabupaten Tegal).

Tapi saya tak ingin berkepanjangan berkeluh-kesah tentang beberapa kisah tersebut. Juga atas berita di Kompas tersebut. Sisi positifnya, saya kira tanggapan dari Komisi VII tersebut merupakan a wake-up call agar kita segera berbenah diri dalam hal ini.

Saya pernah menulis di 2006 (pernah juga saya paparkan di KNRT), setidaknya ada 4 (empat) "isu strategis" yang perlu diperhatikan dan diperbaiki dalam rangka berbenah ini (sebagai prakarsa awal). Apa saja itu? He . . he . . . sekarang sudah agak larut malam, sudah lelah dengan tenaga tersisa dari diskusi di Balitbang Perhubungan tadi sore sambil ngabuburit. Jadi, ya dalam kesempatan berikutnya saya tulis lagi, insya Allah . . . .

Baca Selanjutnya...

Minggu, September 21, 2008

Selamat Datang

Selamat datang di blog pribadi saya.

Isinya merupakan opini pribadi. Niat utamanya menyampaikan saran perbaikan. Tak bermaksud menghujat atau menjelek-jelekkan siapapun dan lembaga/organisasi manapun. Jika ada yang bermanfaat silahkan disebarluaskan. Apabila ada yang tidak benar, tidak patut atau ada kekurangan, mohon sampaikan saran perbaikan dan mohon dimaafkan.

Semoga bermanfaat . . .

Baca Selanjutnya...

KOMENTAR TERAKHIR

TTM => Teman-Teman Mem-blog

Creative Commons License
Blog by Tatang A Taufik is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 United States License.
Based on a work at tatang-taufik.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://tatang-taufik.blogspot.com/.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP