Sabtu, November 29, 2008

Kerangka Strategi E-Development Daerah

Catatan : untuk bahan-bahan rujukan, lihat dalam file pada taut di blog ini . . .

Sudah banyak program/kegiatan (atau “proyek”) teknologi informasi dan komunikasi/TIK atau yang berkaitan dengan ini diimplementasikan di daerah-daerah di Indonesia. Tetapi rasanya belum banyak daerah yang dapat dinilai “berhasil” membawa perubahan [baca: perbaikan] dalam pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
TIK memang diakui semakin penting bagi [dan dalam] pembangunan. Namun banyak tantangan yang harus dihadapi dan pertanyaan yang perlu dijawab. Kali ini, artikel singkat ini membahas secara singkat untuk menjawab pertanyaan berikut :

  1. Bagaimana agar PENGEMBANGAN dan PEMANFAATAN teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat efektif dalam pembangunan daerah?
  2. SIAPA yang harus terlibat?
  3. Bagaimana/dari mana MEMULAINYA?

Saya ingin memulainya dari pemikiran berikut. Menurut saya, PEMBANGUNAN esensinya adalah PEMBERDAYAAN yang harus membawa manusia/masyarakat [terutama kelompok miskin] agar :

  • semakin mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya,
  • lebih berdaya menolong dirinya sendiri,
  • semakin berperan dalam memperkuat kohesi sosial dalam tatanan masyarakat yang lebih baik,
  • semakin berdaya saing dalam tatanan masyarakat ekonomi yang lebih maju.

Nah, mari kita fokus pada pemberdayaan (empowerment). Setidaknya ada 3 pilar pemberdayaan, yaitu :

  • Pemungkinan (enabling) -- agar berkembang;
  • Penguatan (strengthening) -- agar kompeten/unggul;
  • Perlindungan (protecting) -- agar tidak tereksploitasi (semakin termarjinalkan).

Karena itu, mari kita berstrategi agar TIK dapat menjadi “alat pemberdaya” yang efektif.
Bila kita kaitkan dengan pertanyaan yang disampaikan sebelumnya, maka saya mengusulkan jawaban berikut :

  1. Agar PENGEMBANGAN dan PEMANFAATAN teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat efektif dalam pembangunan daerah -- maka pengembangan dan pemanfaatan TIK HARUS menjadi BAGIAN INTEGRAL dari pembangunan daerah.
  2. Yang harus terlibat -- tentunya SELURUH pelaku pembangunan : Pemerintah, dunia usaha, akademisi (termasuk litbangyasa), masyarakat, dan stakeholder lain.
  3. Bagaimana/dari mana MEMULAINYA? -- maka harus ada KERANGKA STRATEGI yang menjadi konsensus dan pijakan para pihak untuk bertindak secara koheren dan menghasilkan dampak sinergi positif.

Dalam kaitan inilah saya mengajukan suatu kerangka strategi E-Development. Apa itu? E-Development yang saya maksud pada dasarnya merupakan upaya menjadikan pembangunan (dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pembangunan daerah) agar lebih efektif, efisien dan memberdayakan, dengan pengembangan dan pendayagunaan TIK.
Jadi saya memaknai Kerangka Strategi E-Development sebagai :

  • suatu kerangka kerja (framework) yang bersifat umum/generik tentang bagaimana strategi pengembangan dan pendayagunaan TIK dalam siklus perencanaan, implementasi, pemantauan, evaluasi dan perbaikannya secara berkelanjutan agar menjadi bagian integral dari pembangunan daerah;
  • bahwa pembangunan daerah perlu semakin mendayagunakan TIK dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan daerah tersebut.

“Sederhananya”, gagasan Kerangka Strategi E-Development tersebut ditunjukkan oleh gambar berikut. Kalau ingin membaca lebih lanjut, silahkan lihat/unduh file-file terkait yang saya unggah di scribd dan/atau slideshare.


Semoga bermanfaat.
Salam

Baca Selanjutnya...

Minggu, November 23, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi : Meningkatkan Koherensi Kebijakan Inovasi

Diskusi ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya . . . .

Koherensi kebijakan inovasi pada dasarnya menyangkut keterpaduan dan harmonisasi, saling mengisi dan memperkuat terutama antarpola kebijakan ekonomi, industri dan teknologi, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan ”antara nasional/pusat dan daerah,” (termasuk konteks regional atau supranasional tertentu dan internasional) sehingga tidak berbenturan, bertolak belakang dan membingungkan. Kebijakan inovasi yang koheren akan menghasilkan dampak sinergi yang positif bagi perkembangan sistem inovasi, sehingga meningkatkan daya saing dan memperkuat kohesi sosial, yang akhirnya mendukung peningkatan kesejahteraan, kemandirian dan peradaban bangsa.
Upaya demikian tentu perlu dikembangkan bersama oleh berbagai pihak (pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingannya). Kini semakin disadari bahwa kebijakan inovasi bukanlah semata ranah intervensi bagi “Pemerintah Pusat/Nasional” saja tetapi juga “Pemerintah Daerah.” Selain itu, upaya bersama (kolaboratif) dalam mendorong koherensi kebijakan inovasi ini juga sangat penting mengingat kebijakan inovasi setidaknya terkait dengan tiga dimensi penting berikut:

  1. Dimensi ”penadbiran kebijakan” (policy governance) : bahwa kebijakan inovasi dapat ditentukan pada beragam tataran (lokal, daerah, nasional dan internasional), di mana koherensi dan komplementasi satu dengan lainnya sangatlah penting.
  2. Dimensi “sektoral” : bahwa terdapat beragam faktor yang akan memberikan pengaruh umum serupa walaupun dengan tingkat yang berbeda dan pengaruh yang mungkin bersifat spesifik sektor. Karenanya, respons kebijakan yang dikembangkan perlu mempertimbangkan hal ini.
  3. Interaksi dengan bidang kebijakan lainnya : bahwa kebijakan inovasi seringkali perlu diimplementasikan melalui kebijakan lainnya (selain ”kebijakan iptek”). Karenanya, konsepsi inovasi dan sistem inovasi perlu semakin ”lekat/terpadu” dalam beragam kebijakan terkait lainnya.
Sejatinya, koherensi kebijakan setidaknya menyangkut tiga dimensi, yaitu:
  1. Koherensi horisontal yang menentukan bahwa masing-masing kebijakan yang terkait atau kebijakan-kebijakan sektoral dikembangkan untuk saling mengisi dan/atau memperkuat atau meminimumkan ketidakkonsistenan (”inkonsistensi”) dalam tujuan yang (mungkin) saling bertentangan;
  2. Koherensi vertikal yang menentukan bahwa keluaran yang dicapai/diperoleh sesuai atau konsisten dengan yang dimaksudkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan;
  3. Koherensi temporal yang berkaitan dengan keadaan bahwa kebijakan yang diambil/ditetapkan saat ini akan tetap efektif di masa mendatang dengan membatasi potensi ”inkoherensi” dan dapat memberikan semacam panduan bagi perubahan (dan berkaitan dengan manajemen transisi).

Dalam rangka mendorong koherensi kebijakan inovasi, para pemangku kepentingan perlu secara bersama mengembangkan prakarsa yang lebih terkoordinasi dan terpadu dalam pengembangan sistem inovasi. Dalam konteks “hubungan” antara nasional/pusat dan daerah, dianjurkan peningkatan peran masing-masing pihak yang antara lain adalah sebagai berikut.
Saya kira ada baiknya kita banyak belajar dari negara lain dalam hal ini. Sekedar contoh, saran Lundvall dan Borras [dalam tulisan mereka tahun1997 : The Globalising Learning Economy: Implications for Innovation Policy. Report based on contributions from seven projects under the TSER programme. DG XII, Commission of the European Union. European Commission. Targeted Socio-Economic Research. December 1997] dalam penelitiannya berkaitan dengan konteks perkembangan sistem inovasi di Uni Eropa dan dalam rangka memberikan advis kebijakan inovasi kepada para penentu kebijakan. Mereka misalnya mengungkapkan bahwa ketika merancang kebijakan inovasi, para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan tiga tindakan utama berikut:

  1. Kebijakan yang mempengaruhi tekanan untuk berubah (misalnya kebijakan persaingan, kebijakan perdagangan dan posisi kebijakan ekonomi secara umum);
  2. Kebijakan yang mempengaruhi kemampuan berinovasi dan menyerap perubahan (misalnya pengembangan sumber daya manusia/SDM);
  3. Kebijakan yang dirancang untuk melindungi kelompok-kelompok yang “dirugikan” oleh perubahan (misalnya kebijakan sosial dan daerah yang bertujuan pada redistribusi).

Bidang kebijakan tersebut perlu disesuaikan dan dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan kohesi sosial. Selain itu, koordinasi vertikal juga sangatlah penting karena kesejalanan kebijakan (policy alignment) pada berbagai tataran pemerintahan yang berbeda akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi kebijakan.

Wallahu alam bissawab . . . .

Baca Selanjutnya...

Sabtu, November 22, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi : Isu 4

Melanjutkan tulisan sebelumnya dan seperti pernah saya singgung dalam tulisan beberapa waktu lalu, isu strategis keempat yang perlu dicermati dalam pengembangan sistem inovasi di Indonesia adalah fragmentasi kebijakan di berbagai ”bidang.” Ini terutama dicirikan oleh persoalan-persoalan ”klasik” kebijakan yang masih dihadapi seperti:

  • Fragmentasi kebijakan “sektoral”;
  • Dikotomi “Pusat/Nasional” – “Daerah”;
  • Tumpang-tindih dan inkonsistensi kebijakan antar “bidang/aspek”.

Selain itu, dalam perjalanan negara yang kita lalui, kita juga dihadapkan pada tantangan-tantangan seperti:

  • Perkembangan sistem pemerintahan [yang karena proses penyesuaiannya masih lambat maka menimbulkan beberapa benturan kebijakan];
  • Kebutuhan proses pembelajaran kebijakan yang lebih baik;
  • Kebutuhan respons kebijakan yang cepat, tepat, dan terkoordinasi atas dinamika perubahan dan tantangan.

Akibatnya, salah satu persyaratan penting berkembangnya kebijakan inovasi yang baik belum dapat dipenuhi, yaitu koherensi kebijakan. Memang persoalan inkoherensi kebijakan tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara lain, termasuk yang kini dinilai berhasil dalam pengembangan sistem inovasi di negaranya.

Beberapa strategi mereka kembangkan dalam mengatasi isu kebijakan strategis ini. Bagaimana dengan Indonesia? Punya gagasan? Silahkan sampaikan gagasan Anda atau tinggalkan komentar Anda tentang ini.

Salam

Baca Selanjutnya...

Selasa, November 18, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi : Kepemimpinan

Menyambung diskusi terdahulu, saya ingin tekankan bahwa strategi utama ketiga yang tak boleh didiabaikan adalah mengembangkan kepemimpinan (leadership) dan memperkuat komitmen nasional dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi nasional dan daerah.

Pengembangan/penguatan sistem inovasi nasional maupun daerah dapat dirumuskan, diperbaiki dan terlebih penting lagi diimplementasikan secara kongkrit hanya jika didukung oleh kepemimpinan yang tepat dan memiliki komitmen kuat. Kejelasan dan ketegasan kepemimpinan yang visioner sebagai “keputusan politik” ini penting terutama menyangkut pemahaman dan komitmen/kesungguhan serta konsistensi implementasi bahwa kesejahteraan rakyat yang semakin tinggi dan adil hanya dapat diwujudkan melalui agenda peningkatan daya saing dan penguatan kohesi sosial. Dalam konteks inilah pengembangan atau penguatan sistem inovasi harus menjadi agenda prioritas. Kepemimpinan juga akan sangat berkaitan dengan penetapan, pemaknaan dan implikasi visi yang jelas berkaitan dengan pengembangan/penguatan sistem inovasi.

Peningkatan daya saing umumnya dan pengembangan/penguatan sistem inovasi perlu menjadi agenda strategis pada tataran nasional maupun daerah dan menjadi suatu kesatuan agenda, tetapi bukanlah sekedar agenda satu instansi semata. Agenda tersebut harus dilakukan pada keseluruhan kelembagaan di tingkat nasional maupun daerah (bukan kerangka satu lembaga saja), dan potensi kolaborasi sinergis dengan pihak lain sesuai potensi terbaik. Untuk maksud tersebut, cakupan bidang kebijakan juga sebaiknya berfokus pada ”pemajuan pengetahuan/teknologi, inovasi dan daya saing serta kohesi sosial” bukan sekedar bidang iptek. Sementara itu, cakupan bidang isu sebaiknya berfokus pada tantangan di depan untuk pemajuan secara nasional dan tingkat daerah, bukan sekedar persoalan yang dihadapi di masa lalu.

Pola penadbiran inovasi (innovation governance) di negara lain dapat menjadi contoh dan memberi pelajaran bagaimana upaya perbaikan dipraktikkan di tingkat nasional ataupun daerah. Namun perlu dipahami bahwa penadbiran pada dasarnya lebih bersifat path dependent sehingga praktik baiknya tidak dapat ditiru begitu saja. Upaya untuk mengembangkan keterpaduan sains dan inovasi serta isu ”sektoral” lain yang lebih baik perlu terus dikembangkan. Tentu harus dipahami pula bahwa bagaimana pun bentuknya, pola tersebut akan memberikan dampak nyata hanya jika pembuat kebijakan memiliki kehendak untuk mendengarkan. Kepemimpinan dan kepeloporan untuk melakukan perbaikan merupakan kunci bagi berkembangnya proses pembelajaran dalam kebijakan dan penadbiran inovasi.

Para pihak juga perlu menyadari bahwa dalam upaya perbaikan, persoalan yang seringkali muncul adalah ”inersia” kelembagaan terhadap perubahan, betapapun hal itu akan membawa kepada perbaikan. Hal demikian biasanya tidak cukup dipecahkan hanya dengan mengubah prosedur adminsitratif. Peninjauan sistematis dan proses pembelajaran, walaupun seringkali melelahkan, perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan secara kontekstual lanskap organisasi dan pengorganisasian dalam sistem inovasi.

Upaya perbaikan penadbiran kebijakan inovasi dengan kerangka komprehensif memerlukan kekuatan komitmen, kepemimpinan dan pengambilan keputusan pada ”tingkat tinggi” dengan mekanisme yang efektif (lembaga, pola koordinasi, dan/atau pola lain). Kebijakan untuk memperbaiki berbagai kekurangan/kelemahan (termasuk misalnya upaya/proses penggalian dan pengembangan/penguatan simpul dan keterkaitan yang lemah), membutuhkan koordinasi yang baik antara berbagai organisasi pemerintah dan juga pada tingkat interaksi antarperusahaan. Perbaikan koordinasi harus dilakukan melalui keterbukaan, komunikasi dan proses pembelajaran di antara para pembuat kebijakan maupun para pemangku kepentingan.

Apa yang saya utarakan ini juga sekaligus tantangan. Jika ditanya dari mana harus dimulai, mungkin sebagian besar dari kitapun akan menjawab harus dari “pemimpinnya” (baca = orang lain). Pada umumnya kita lebih pandai menuntut perbaikan dan “menimpakan” tanggung jawab perbaikan tersebut kepada orang lain. Ketika suatu daerah atau organisasi hendak melakukan perubahan/perbaikan, umumnya akan bertanya “tunggu dulu petunjuk dari Pusat”, atau “sudah adakah daerah/organisasi lain yang berhasil melakukannya sehingga kita akan mengikutinya”, dst., dst . . . Jika menghendaki perubahan/perbaikan, betapa jarang kita berani menyatakan kita mulai dari diri sendiri. Barangkali wajar saja, karena sebagian besar orang pun akan demikian.

Barangkali itulah yang kelak akan membedakan. Ke depan, daerah yang berhasil adalah daerah yang senantiasa berkreasi-berinovasi (innovating region); organisasi/lembaga yang berhasil adalah organisasi/lembaga yang tak pernah berhenti berkreasi-berinovasi (innovating organizations); tokoh/pemimpin yang berhasil adalah mereka yang tak pernah berhenti bersyukur dan berani memulai/mempelopori mengembangkan dirinya agar semakin bermanfaat bagi orang lain, mengajak dan menggerakkan orang lain untuk berkreasi-berinovasi [walaupun berisiko menjadi tidak populer], serta konsisten mendukung perbaikan lingkungan dan budaya sekitarnya . . . They are the real leaders, will you be???

Wallahu alam bissawab . . .

Baca Selanjutnya...

Senin, November 17, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi : Isu 3

Lanjutan diskusi tentang pengembangan sistem inovasi dari posting sebelumnya . . .


Mudah-mudahan masih ingat tulisan sebelumnya bahwa isu strategis ketiga dalam pengembangan sistem inovasi di Indonesia adalah "rendahnya kepeloporan untuk melakukan perbaikan dalam jangka panjang."

Kreativitas dan inovasi hanya berkembang dalam iklim (lingkungan) dan budaya yang mendukung yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Kreativitas dan inovasi lebih berpeluang berkembang di ligkungan yang yang mendorong kemajuan intelektualitas dan lebih mudah menerima hal yang baru, dan budaya yang terbuka terhadap perbaikan-perbaikan dalam tata kehidupan bermasyarakat ketimbang di lingkungan dan budaya yang sebaliknya.

Namun, keadaan yang baik demikian tak terbentuk dengan sendirinya. Ini merupakan hasil dari proses. Mengubah lingkungan, dan membawa kepada kondisi masyarakat yang lebih menerima hal-hal baru serta budaya yang lebih mendukung perkembangan kreativitas-keinovasian pun tak dapat dilakukan serta merta, tetapi perlu “kekuatan perubahan.”

Perubahan kepada kondisi demikian memerlukan kepeloporan dan kepemimpinan (formal maupun non formal) yang visioner dan transformasional dengan komitmen tinggi untuk melakukan perubahan dalam perspektif jangka panjang.

Sekedar contoh. Silahkan tengok sekitar Anda, berapa banyak (atau adakah) petinggi di pemerintah pusat atau pemerintah daerah atau politisi misalnya yang berani dan memiliki kesungguhan melakukan perubahan cara kerja sektoral yang terfragmentasi serta memiliki stamina dan keistiqomahan untuk melakukannya dalam proses yang panjang? Berpikir dan bekerja dalam “kotak-kotak sektor masing-masing” mungkin memang akan lebih terasa “nyaman dan aman” karena kita membangun sekat perlindungan agar tidak “diganggu” pihak lain atau “mencampuri” urusan orang lain. Tetapi, sistem inovasi yang baik tak akan pernah terbangun/kuat dengan cara demikian . . .

Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Rabu, November 05, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi: Kerangka Kebijakan Inovasi


Ini adalah opini sebagai kelanjutan diskusi-diskusi sebelumnya . . .

Jika kita belajar dari beberapa negara tentang apa yang mereka lakukan untuk mendukung pengembangan/penguatan sistem inovasi, dapat kita simpulkan bahwa selalu ada proses tahapan dari periode (waktu) ke periode berikut dan reformasi kebijakan inovasi selalu dilakukan sejalan dengan dinamika yang berkembang. Perbaikan kebijakan dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Jadi sebenarnya “proses dan produk kebijakan inovasi yang baik pada dasarnya merupakan proses dan produk pembelajaran”.

Dalam mengatasi persoalan sistemik, diperlukan “kerangka kebijakan” yang tepat, terpadu dan koheren. Karena itu, untuk mendorong pengembangan/penguatan sistem inovasi di Indonesia pun diperlukan kerangka kebijakan inovasi (innovation policy framework) yang kontekstual, terpadu dan koheren. Harus diakui bahwa sistem inovasi di Indonesia (baik pada tataran nasional maupun daerah) masih sangat lemah. Alangkah naifnya jika kita beranggapan bahwa persoalan-persoalan sistemik yang menjadi isu-isu kebijakan yang dapat diatasi hanya dengan solusi tambal-sulam.

Tantangannya adalah dapatkah suatu rejim pemerintahan di Indonesia (pada tataran nasional maupun daerah) merumuskan konsep dan menyepakati (mencapai konsensus atas) kerangka kebijakan inovasi (innovation policy framework)
  • yang menjadi acuan bersama,
  • diterjemahkan ke dalam tindakan dengan sasaran yang jelas dan terukur,
    secara konsisten diimplementasikan,
  • dipantau dan dievaluasi, serta
  • diperbaiki secara terus-menerus.

Dalam artikel sebelumnya saya menyebutkan 6 (enam) KELOMPOK isu kebijakan inovasi yang harus diatasi oleh Indonesia hingga saat ini. “Daftar” isu kebijakan ini pernah saya muat dalam buku saya dan sepengetahuan saya belum ada perbaikan sistemik yang signifikan atas isu-isu kebijakan inovasi tersebut sejak 2005 hingga sekarang ini. Karena itu, saya masih berkesimpulan bahwa isu-isu kebijakan inovasi tersebut tetap masih sangat relevan dan harus diatasi.

Apa saja kelompok kebijakan inovasi yang sangat penting dibenahi ke depan? Saya kira setidaknya ada 6 (enam) yang kesemuanya membentuk suatu kerangka kebijakan inovasi di Indonesia dalam periode 5 (lima) tahun ke depan, yaitu:

  1. Mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi inovasi dan bisnis.
  2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang dan mengembangkan kemampuan absorpsi UKM.
  3. Menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi, praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbang.
  4. Mendorong budaya inovasi.
  5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri nasional dan daerah.
  6. Penyelarasan dengan perkembangan global.

Dalam setiap kelompok isu kebijakan inovasi yang saya sebutkan sebelumnya, ada sederet isu-isu kebijakan lebih rinci, baik yang bersifat universal berlaku pada tataran nasional maupun yang bersifat “spesifik kasus (misalnya pada tataran daerah dan/atau sektoral-industrial). Pengelompokan isu kebijakan inovasi tersebut lebih dimaksudkan untuk “memudahkan” kita mencermati persoalan sistemik dan merancang kerangka kebijakan inovasi yang terpadu dan koheren.

Andai saja kita dapat melakukan reformasi kebijakan secara serentak pada keenam isu kebijakan tersebut dan instrumen-instrumen kebijakan dalam setiap kelompok kebijakannya diimplementasikan secara bertahap dari waktu ke waktu, maka kita berharap bahwa perbaikan dapat menghasilkan perubahan sistemik yang signifikan dan sistem inovasi di Indonesia dapat mencapai tahap kemajuan tertentu dalam 5 tahun ke depan.

Itu memang bukan agenda yang mudah diwujudkan Tetapi, mudah-mudahan dengan cara demikian keinginan kita untuk meningkatkan daya saing dan kohesi sosial dapat dicapai lebih efektif, sebagai tumpuan penting dalam mewujudkan kesejahteraan yang semakin tinggi dan semakin adil, kemandirian yang semakin kokoh, peradaban bangsa yang semakin berkembang dan maju, serta kedaulatan NKRI yang tetap utuh dan dihormati.

Wallahu alam bissawab . . .


Baca Selanjutnya...

KOMENTAR TERAKHIR

TTM => Teman-Teman Mem-blog

Creative Commons License
Blog by Tatang A Taufik is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 United States License.
Based on a work at tatang-taufik.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://tatang-taufik.blogspot.com/.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP