Rabu, Desember 31, 2008

Selamat Kepada Kepala BPPT Yang Baru

Mengucapkan selamat atas pelantikan

Bapak Dr.Ir. Marzan A. Iskandar, MEng. sebagai Kepala BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)
Gedung 2 BPPT, Jakarta, 31 Desember 2008.

Semoga dapat menjalankan amanah baru dengan baik, dengan semangat baru menjadikan BPPT yang jauh lebih baik untuk berkontribusi signifikan dalam pembangunan Indonesia.
Amien.


Tatang A. Taufik

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 27, 2008

Lomba Posting tentang Mendorong Kreativitas - Inovasi

Kreativitas dan keinovasian sangat penting dalam berbagai bidang, termasuk perbaikan bisnis, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Saya mengajak Anda rekan-rekan blogger Indonesia, untuk menulis artikel singkat mengenai gagasan atau pemikiran Anda “bagaimana mendorong kreativitas/keinovasian atau budaya kreatif-inovatif di daerah Anda”.


Tanda Apresiasi
Sebagai tanda apresiasi saya, saya akan kirimkan sebuah buku yang pernah saya tulis berjudul “Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan”, yang diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) tahun 2005.





Buku tersebut akan saya hadiahkan kepada 5 (lima) artikel terbaik menurut penilaian saya dan memenuhi persyaratan berikut.

Persyaratan

  1. Artikel yang ditulis bukan artikel milik orang lain.
  2. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia (dapat berupa hasil tulisan sendiri atau bersama).
  3. Artikel diposting di blog yang Anda miliki [catatan : tidak ada batasan jumlah kata dalam artikel].
  4. Daftarkan diri Anda dan beritahukan artikel yang Anda tulis kepada saya dalam kolom Komentar di bawah. Saya akan mengunjungi blog Anda secepatnya.
  5. Batas waktu penulisan posting adalah tanggal 15 Januari 2009 [posting sudah dapat dilihat sebelum tanggal 15 Januari 2009].
  6. Untuk memudahkan komunikasi kelak, mohon beritahu saya tentang identitas penulis yang jelas, bukan nama samaran. Jika Anda keberatan dengan nama asli dalam blog, Anda dapat memberitahukannya kepada saya kelak melalui email.
  7. Keputusan saya tentang pemenang tidak dapat diganggu gugat [kan namanya juga opini pribadi he he . .].

Pemenang akan diumumkan selambat-lambatnya tanggal 18 Januari 2009 di blog ini, di sistem inovasi, di klaster industri, dan di weblog sistem inovasi.

Semoga tulisan Anda bermanfaat dalam ikut serta mendorong kreativitas-keinovasian dan/atau budaya kreatif-inovatif di daerah Anda dan di Indonesia.
Selamat berlomba.
Tetap semangat untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Salam

Baca Selanjutnya...

Kamis, Desember 25, 2008

Blogger dan Telecenter : Dapatkah Lebih Berperan Dalam Pemberdayaan Masyarakat ?

Ok, sebaiknya saya mulai dari dua istilah di judul artikel ini : blogger dan telecenter. Saya kira semua sudah tahu yang saya maksud dengan blogger, yaitu penggiat blog – mereka yang membuat blog dan mempublikasikannya di internet – seperti rekan-rekan yang namanya tersebar di blog saya ini [saya kira sebagian besar pembaca artikel saya di sini juga adalah blogger].
Lalu apa itu telecenter? Ini juga sebetulnya bukan hal yang baru. Setidaknya saya pernah menyinggung dalam posting di blog ini, blog ini, blog ini atau blog ini, dan tautnya. Sederhananya, telecenter pada dasarnya merupakan tempat untuk mendukung pemberdayaan masyarakat – tentunya dengan beberapa fasilitas tertentu – yang dilengkapi dengan akses teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk internet.
Mengapa disebut telecenter? Ya pada awalnya, telecenter dikembangkan untuk pemberdayaan komunitas masyarakat yang “terpencil” atau “berjarak jauh” atau “terisolasi” dari masyarakat lainnya. Telecenter ini dianggap diperlukan untuk mengatasi keterpencilan/keterisolasian tersebut. Jadi ini dinilai berguna untuk aktivitas “bertele-tele” dalam arti berhubungan, berkomunikasi dan membangun jejaring dengan komunitas masyarakat lainnya. Telecenter tentu saja tidak diharapkan menjadi tempat aktivitas yang “bertele-tele” – “pakepuk-pabaliut”, kata orang Sunda - dalam arti tidak efektif-efisien dalam memberdayakan masyarakat.
Telecenter berkembang dengan nama yang beragam, seperti :

  • Micro Telecenter / Tele-shop
  • Mini Telecenter
  • Basic Telecenter / Standard Telecenter
  • Tele-hub
  • Full Service Telecenter
  • Multipuproses Community Telecenter (MCT)
  • Rural Telephone Co-operatives (RTCs).

Apakah di Indonesia sudah ada telecenter? Sudah [jumlahnya saya tidak punya data]. Tentu saja dibandingkan dengan yang dibutuhkan, jumlahnya masih sangat kurang. Beberapa hanya “hidup” sebentar; ada yang berkembang, bertahan atau mungkin sudah tinggal namanya saja. Silahkan dicek mungkin di sekitar tempat tinggal Anda sudah ada telecenter, mungkin juga belum.
Apakah telecenter hanya relevan untuk wilayah perdesaan atau wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa saja? Tentu tidak. “Keterisolasian” masih ditemui di Pulau jawa sekali pun. Di masa sekarang, persoalan ini bukan hanya menyangkut keterisolasian karena jarak fisik tetapi juga dalam dimensi lainnya. Coba renungkan isu-isu di bawah ini dan keterkaitannya dengan isu “keterisolasian” dalam masyarakat kita :

  • Kemiskinan multidimensi, pengangguran dan rendahnya daya saing.
  • Kesenjangan digital/pengetahuan.
  • Keterbatasan akses masyarakat terhadap berbagai sumber daya produktif, termasuk informasi/pengetahuan/teknologi.
  • Potensi lokal, termasuk warisan budaya.
  • Kebutuhan untuk mendorong kreativitas-inovasi, peningkatan difusi dan pembelajaran.

Nah, jelas jika masyarakat "yang tidak/kurang berdaya" menghadapi hal-hal seperti itu secara bersamaan, tidak mudah bagi mereka mengatasinya sendirian. Jika kita hanya berpangku tangan tidak memperdulikan keadaan seperti ini, apa kata anak-cucu kita kelak?

Itu kan tugas pemerintah? Siapa bilang? Memang benar pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam hal ini. Tapi percaya lah [wow seperti iklan], pemerintah saja tidak akan mampu mengatasi persoalan kemiskinan, kesenjangan, kertebelakangan dalam masyarakat sendirian. Setiap orang mempunyai tanggung jawab dalam memberdayakan masyarakat. Jika telah ada seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakannya, itu tidak otomatis menggugurkan kewajiban kita untuk melakukannya. Everybody has social responsibility . . .
Pada mulanya saya sempat agak terheran-heran. Karena di Negara yang oleh sebagian dari kita sering disebut “Negara Kapitalis” [bukan yang orangnya suka dengan huruf kapital] justru “kohesi sosial”-nya kok malah “bagus” [ini setidaknya dalam beberapa segi praktis tertentu]. Di tempat sekolah saya dulu, pemeliharaan kebersihan beberapa penggal jalan dilakukan oleh sehimpunan mahasiswa. Mereka juga ada yang berpraktik dengan membuat program komputer untuk pola penggantian tanaman atau pengairan di pertanian, dan sebagainya.
Ok, kembali ke “telecenter”, menurut saya kita perlu terus mengembangkannya. Setidaknya bisa difokuskan kepada upaya untuk :

  • Pemberdayaan komunitas masyarakat, dan
  • Pengembangan potensi terbaik setempat (termasuk “industri kreatif”).

Nah bagaimana dengan blogger? Wah, memang pengalaman saya jalan-jalan ke blog rekan-rekan belum lama. Tetapi menurut saya sungguh luar biasa. Blogger Indonesia banyak yang menguasai teknis di bidang teknologi informasi dan komunikasi [TIK, termasuk internet ini] dan banyak yang sangat kreatif. Bahkan banyak yang masih berusia sangat muda.
Rekan-rekan blogger dapat berpartisipasi dalam berbagi ilmu melalui “kegiatan sosial” sesuai bidangnya. Misalnya :

  • Memberikan pelajaran pengenalan TIK dan pemanfaatan informasi
  • Mengajarkan bagaimana memanfaatkan email, internet, dan sejenisnya [termasuk mungkin memanfaatkan dan membuat blog]

Apakah TIK dapat bermanfaat bagi masyarakat umum? Sangat banyak, misalnya :

  • Akses yang lebih baik terhadap informasi
  • Memberikan pilihan yang lebih luas/banyak kepada masyarakat [dalam banyak hal]
  • Kemungkinan-kemungkinan bagi peningkatan pendapatan
  • Berbagi pengetahuan (knowledge-sharing)
  • Mendorong transparansi dan partisipasi
  • Memperbaiki nilai-nilai demokrasi, dan lain-lain.

Jadi secara umum kita dapat mengembangkan telecenter untuk :

  • meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber informasi, pengetahuan/teknologi dan sumber daya produktif lainnya;
  • meningkatkan proses pembelajaran kontekstual;
  • mendorong kreativitas-inovasi;
  • mendorong peningkatan produktivitas;
  • memfasilitasi pengembangan jaringan kemitraan dan memberikan peluang positif bagi masyarakat untuk berkembang;
  • mendukung promosi potensi keunggulan khas setempat.

Lantas, apa peran utama telecenter? Pada dasarnya, peran telecenter dalam hal ini adalah :

  • Menyediakan informasi
  • Mengembangkan komunikasi
  • Membangun kapasitas komunitas
  • Memfasilitasi kegiatan komunitas masyarakat
  • Mengembangkan kemitraan
  • Mengembangkan dan mendiseminasikan muatan lokal.

Siapa yang kita bantu? Saya menyarankan prioritaskan kepada mereka yang memang paling membutuhkan. Tentu sedapat mungkin kita mulai di lingkungan sekitar kita. Boleh juga untuk kelompok tertentu yang memang memerlukan dibantu misalnya seperti kelompok perempuan, kelompok pelaku usaha kecil/menengah, anak-anak jalanan, dan lainnya.
Tempatnya ? Wah, saya kira banyak pilihan. Yang paling baik tentu berdiskusi dengan komunitas masyarakat yang bersangkutan. Lokasi bisa di tempat ibadah, sekolah, kantor kelurahan, atau tempat lain yang disepakati bersama. Di lingkungan sekolah, pemberdayaan masyarakat seperti melalui telecenter bisa termasuk aktivitas “Pembelajaran Luar Sekolah”. Silahkan ditanyakan kepada Dinas atau instansi yang menangani di daerah Anda.

Rekan blogger . . .
Sekecil apapun, jika masing-masing kita berpartisipasi dalam memberdayakan masyarakat, insya Allah Indonesia akan lebih baik.
Wallahu alam bissawab . . .

Semoga amal Anda dalam memberdayakan masyarakat dan sedekah Anda melalui kelebihan kemampuan yang diberikan Tuhan mendapat balasan yang jauh lebih baik dariNya.

Semoga bermanfaat

Salam

Catatan : jika dinilai berguna, silahkan disebarluaskan. Artikel ini bebas digandakan atau dimodifikasi dan dipublikasikan kembali dalam blog Anda sebagai tulisan Anda, asalkan untuk kebaikan. Karena saya sudah menyatakannya, insya Allah itu bukan plagiat kok . . .


Baca Selanjutnya...

Selasa, Desember 16, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [Bagian 3]

Tulisan ini merupakan bagian akhir sebagai lanjutan dari artikel di posting sebelumnya. Muatan tentang topik ini dapat dilihat dalam buku yang saya tulis [2005] berjudul "Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan".

3. Kegagalan Sistemik (Systemic Failures)
Paradigma sistem yang mencermati ”sistem inovasi” membawa pada argumen kegagalan sistemik, selain kegagalan pasar (dan kegagalan pemerintah) yang pada dasarnya telah dikenal dalam arus utama ekonomi, sebagai landasan bagi pengembangan kebijakan inovasi.
Kegagalan sistemik pada dasarnya merupakan keadaan di mana suatu (beberapa) sistem “terperangkap” dalam kondisi tidak ideal karena faktor pasar maupun non-pasar, tidak adanya atau tidak bekerjanya fungsi tertentu dalam sistem, atau sebab-sebab penting lain yang sangat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi proses atau kinerja sistem.
Dalam konteks sistem inovasi, kebijakan inovasi [baca = kebijakan untuk mendorong perkembangan sistem inovasi] pada prinsipnya mengkomplementasi perusahaan dan pasar, bukan menggantikan atau menduplikasinya. Dalam hal ini, menurut Edquist (1999, 2001), setidaknya terdapat empat kategori kegagalan sistem (yang sebagian berhimpitan satu dengan lainnya), yaitu:

  1. Fungsi-fungsi dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada;
  2. Organisasi-organisasi yang ada tidak sesuai atau organisasi yang diperlukan tidak ada;
  3. Kelembagaan yang ada tidak sesuai atau kelembagaan yang diperlukan tidak ada; atau
  4. Interaksi atau keterkaitan antarelemen dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada.

Sementara itu, Smith (2000, 1996) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang mendasari perlunya intervensi pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem inovasi, yaitu:

  1. Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in infrastructural provision and investment) : Ini misalnya menyangkut infrastruktur fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan komunikasi) maupun yang berkaitan dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga teknis yang didukung oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau bahkan kementerian dalam pemerintah.
  2. Kegagalan transisi (transition failures) : Ini misalnya berkaitan dengan persoalan-persoalan serius yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi. Menurut Smith, banyak kebijakan publik yang dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengatasi isu-isu demikian namun seringkali tanpa alasan yang eksplisit.
  3. Lock-in failures : Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan beralih dari teknologi yang digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem perekonomian secara keseluruhan yang dapat “terkunci atau terperangkap” (locked-in) dalam paradigma teknologi tertentu. Lembaga-lembaga eksternal, dengan kemampuan untuk membangkitkan insentif, untuk mengembangkan alternatif-alternatif teknologi, dan untuk menumbuhkembangkan sistem-sistem teknologi yang baru (emerging) sangat diperlukan.
  4. Kegagalan institusional : sehimpunan terpadu dari lembaga publik dan swasta, sistem regulasi (regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut mempengaruhi konteks ekonomi dan perilaku teknis secara keseluruhan akan membentuk peluang teknologis dan kapabilitas perusahaan. Kegagalan dalam sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi inovasi yang berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan dalam perundangan HKI.

Kompleksnya sistem inovasi turut mendorong argumen dengan perspektif (dan tekanan) yang tak selalu persis sama yang diajukan berkaitan dengan perlunya kebijakan inovasi. Arnold dan Boekholt (2002) misalnya lebih menekankan isu argumen berikut:

  1. Kegagalan kapabilitas (capability failures) : Hal ini berkaitan dengan kemampuan perusahaan bertindak demi kepentingan terbaiknya karena keterbatasan manajerial, kurangnya pemahaman teknologi, kelemahan kemampuan pembelajaran atau kapasitas absorpsi untuk memanfaatkan teknologi yang berasal dari luar perusahaan.
  2. Kegagalan dalam lembaga (failures in institutions) : kegagalan dalam berbagai organisasi, baik bisnis maupun non-bisnis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pengetahuan menghambat perkembangan inovasi dan pertumbuhan. Demikian juga kegagalan berinvestasi dalam lembaga-lembaga pengetahuan.
  3. Kegagalan jaringan (network failures) : Hal ini berkaitan dengan interaksi antaraktor, baik karena jumlah dan kualitas keterkaitan yang rendah (misalnya karena tidak berkembangnya rasa saling percaya atau keterisolasian para aktor dari konteks sosial), maupun transition failures dan lock-in failures (di mana sistem inovasi ataupun klaster industri tidak mampu memanfaatkan peluang teknologi baru atau terperangkap dalam teknologi yang lama).
  4. Kegagalan kerangka kerja (framework failures) : Inovasi yang efektif akan turut bergantung pada kerangka regulasi dan kondisi lain yang melatarbelakangi inovasi (misalnya sofistikasi konsumen, nilai-nilai sosial dan budaya).

Uraian di atas menunjukkan beragam potensi bagi identifikasi dan elaborasi isu kebijakan inovasi yang perlu dicermati dalam konteks suatu sistem inovasi.

Semoga bermanfaat.

Salam.


Baca Selanjutnya...

Minggu, Desember 14, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [Bagian 2]

Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel di posting sebelumnya.

2. Kegagalan Pasar (Market Failures)
Secara umum, kegagalan pasar merupakan keadaan di mana alokasi barang dan/atau jasa oleh “pasar bebas” (free market) tidak efisien – atau dengan kata lain “mekanisme pasar” tidak bekerja dengan baik sehingga tidak membawa kepada “efisiensi ekonomi” (economic efficiency). Kegagalan pasar demikian membawa pada keadaan yang “merugikan” bagi masyarakat umum [bagi tercapainya social welfare tertinggi], walaupun [mungkin] menguntungkan sekelompok orang.
Argumen kegagalan pasar merupakan argumen ”klasik” perlunya intervensi pemerintah bagi kebijakan inovasi (termasuk kebijakan iptek). Tassey (2002, 1999) misalnya mengungkapkan salah satu bentuk kegagalan pasar terkait dengan litbang adalah fenomena “investasi yang terlampau rendah” (underinvestment) dalam pengembangan dan difusi pengetahuan/teknologi, yang menurutnya terjadi dalam empat kategori, yaitu:

  • aggregate underinvestment oleh suatu industri (misalnya rendahnya litbang keseluruhan);
  • investasi yang terlampau rendah dalam litbang terapan di perusahaan-perusahaan baru/pemula (misalnya tidak memadainya modal ventura);
  • investasi yang terlampau rendah dalam pembaharuan teknologi yang ada (inkremental) atau penciptaan teknologi baru (misalnya ketidak-memadaian riset teknologi generik);
  • investasi yang terlampau rendah dalam mendukung infrastruktur teknologi (misalnya kurangnya litbang infratechnology).

Karena proses pengembangan teknologi berlangsung secara siklus (cyclically), kegagalan pasar yang mengarah kepada investasi yang terlampau rendah cenderung berulang terus. Selain itu, beragam jenis kegagalan pasar yang berbeda biasanya terjadi dan membutuhkan pola respons dari pemerintah atau industri-pemerintah yang berbeda pula.
Sementara itu, Cornet dan Gelauff (2002), menyoroti teori dan bukti empiris yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tidak berurusan dengan seluruh biaya dan manfaat sosial dari inovasi. Karena itu maka "pasar inovasi" (the innovation market) gagal. Beberapa mekanisme menggeser insentif swasta untuk berinovasi dari insentif yang optimal secara sosial :

  1. Knowledge spillovers : pengetahuan baru “bocor/menyebar” ke perusahaan lainnya tanpa kompensasi bagi si inovator. Artinya, dalam penyebarannya, pihak inovator tidak sepenuhnya dapat melindungi pemanfaatan konsep inovasi oleh pihak-pihak lain.
  2. Rent spillovers : inovator tidak dapat menarik imbalan dari pelanggannya atas nilai sepenuhnya yang dihasilkan dari inovasi. Istilah knowledge spillovers dan rent spillovers pada dasarnya terkait dengan sifat non rivalry and non excludability dari inovasi.
  3. Kegagalan pasar asuransi (insurance market failure) : risk-averse innovator[1] tidak mampu menanggung sehimpunan risiko inovasi;
  4. Dampak pencurian bisnis (business-stealing effects) : inovasi berpotensi memperkuat posisi pelaku bisnis mencuri bisnis pesaingnya. Dampak pencurian bisnis (business-stealing effects) memperkuat insentif bagi pelaku bisnis, yang melampaui tingkat optimum sosial. Sementara itu, jenis kegagalan pasar yang lain mengurangi insentif tersebut di bawah apa yang dikehendaki oleh masyarakat.

Kegagalan pasar juga menghambat difusi inovasi dalam ekonomi, terutama menyangkut:

  1. Informasi tak sempurna (imperfect information) : pasar belum sepenuhnya memahami (terbiasa) dengan keseluruhan inovasi dan karenanya enggan untuk mengadopsi inovasi tersebut serta berinvestasi dalam perbaikan-perbaikan dari inovasi tersebut;
  2. Eksternalitas jaringan (network externalities) : nilai sosial dari inovasi bergantung pada jumlah pengguna. Karena itu, ada insentif untuk menunggu untuk mengadopsi inovasi dan menunggu berinvestasi dalam inovasi komplemennya;
  3. Kekuatan pasar (market power) : Para pengguna (pelanggan) akan berbeda dalam kesediaannya membayar (willingness to pay) atas inovasi. Oleh karena itu, inovator memulainya dengan membebankan harga tinggi kepada pengguna yang paling awal menghendaki inovasi, selanjutnya mengurangi harga secara bertahap untuk melayani pengguna-pengguna yang berikutnya. Kecepatan adopsi biasanya relatif lambat;
  4. Keunggulan pelopor (first-mover advantage) : suatu inovasi yang kecil dapat mendorong produk-produk yang ada menjadi tertinggal/kadaluarsa (obsolete). Oleh karena itu, difusi yang cepat akan lebih menarik dari perspektif inovator, namun tidak terlampau menarik bagi masyarakat.

Catatan :
[1] Inovator yang sikapnya lebih condong “menghindari risiko.”

Sekian dulu.

Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 13, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [1]

Penjelasan ini lebih saya tujukan bagi masyarakat yang "bukan ekonom." Mudah-mudahan dapat membantu pemahaman atas beberapa istilah teknis yang berkaitan dengan "kebijakan inovasi" . . .

Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan publik (public policy) pada dasarnya diperlukan manakala muncul “isu kebijakan”. Yang dimaksud dengan isu kebijakan adalah persoalan-persoalan dalam masyarakat [sebagai suatu sistem dalam pengertian umum] yang tidak dapat dipecahkan sendiri [menurut mekanisme otomatis] oleh para anggota sistem. Dengan demikian kebijakan publik atau tindakan intervensi [campur tangan] pemerintah [atau sistem pemerintahan] dianggap perlu untuk memperbaiki keadaan atau mengubah status quo.
Dalam penguatan sistem inovasi, ada 3 [tiga] kelompok argumen, yang sebetulnya saling terkait satu dengan lainnya, yang pada umumnya dinilai sebagai “argumen” adanya isu kebijakan inovasi. Kelompok argumen tersebut adalah: kegagalan pemerintah (government failures), kegagalan pasar (market failures), dan kegagalan sistemik (systemic failures). Dalam posting kali ini, saya akan diskusikan satu per satu hal tersebut secara singkat.

1. Kegagalan Pemerintah (Government Failures)
Ini lebih merupakan terminologi atau istilah teknis yang tentu tidak dapat diartikan sebagai [jangan disamakan dengan] “pemerintah yang gagal”. Kegagalan pemerintah [kadang disebut juga non-market failures] pada dasarnya adalah tindakan [intervensi] pemerintah yang mengakibatkan tidak efisiennya alokasi sumber daya dan produk [barang dan/atau jasa] dibanding dengan kondisi tanpa intervensi. Dalam ekonomi, ini sering disebut juga tindakan pemerintah yang “mendistorsi” pasar.
Kegagalan pemerintah umumnya lebih merupakan “ketidakmampuan” atau persoalan yang menghambat pemerintah bertindak efektif dan efisien dalam menangani persoalan tertentu.
Adakah “kegagalan pemerintah” seperti ini dalam pengembangan sistem inovasi? Penerapan pajak pada aktivitas inovatif [misalnya perijinan investasi/bisnis inovatif yang tidak efisien], pemberlakuan tarif tinggi pada barang-barang teknologi yang sangat diperlukan bagi pemajuan ekonomi di dalam negeri [industri setempat] atau bagi perkembangan kemajuan pendidikan/iptek, tidak efektifnya penegakan hukum dalam pelanggaran HKI, dan sejenisnya merupakan contoh dari bentuk kegagalan ini. Kegagalan demikian dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi pada dasarnya merupakan bagian dari kegagalan sistemik juga [yang akan dijelaskan belakangan].

Bersambung . . . Dilanjutkan nanti saja karena aktivitas saya saat mau posting ini "terdistorsi" oleh hal lain yang urgen . . .
Salam

Baca Selanjutnya...

Kamis, Desember 11, 2008

Kemitraan, Koordinasi, dan Kolaborasi Iptek [?]

Tadinya saya akan posting topik lain. tetapi "zona kenyamanan" saya agak terganggu gara-gara masih sering mendengar percakapan di beberapa kesempatan tentang istilah yang sebenarnya sering diucapkan. Setelah mendengar penjelasan-penjelasan yang membuat saya mengernyitkan dahi, baru saya memahami yang dimaksud oleh si pembicara.
Istilah yang saya maksud adalah "kemitraan, koordinasi, kerjasama, dan kolaborasi" di bidang iptek [ilmu pengetahuan dan teknologi] khususnya. Saya ingin berbagi sedikit, mudah-mudahan bermanfaat dan semakin sedikit penggunaan istilah-istilah tersebut yang kurang tepat.

Kemitraan
Istilah "kemitraan iptek" (ilmu pengetahuan dan teknologi) umumnya digunakan untuk menunjukkan suatu kesepakatan hubungan antara dua atau lebih pihak untuk mencapai tujuan bersama tertentu dalam bidang iptek. Kesepakatan yang terjadi bisa mengikat secara hukum atau juga bersifat lebih longgar. Para pihak yang terlibat dalam kemitraan iptek bisa merupakan pengembang/penyedia iptek atau penyedia dan pengguna iptek. Sementara lingkup kemitraan iptek bisa dalam pengembangan/inovasi, alih/transfer, pemanfaatan, difusi, dan/atau penguasaan iptek.
Beberapa literatur menggunakan kata ”kemitraan” (partnership) untuk hubungan/konteks bisnis. Walaupun begitu, istilah ”kemitraan” pada dasarnya memiliki pengertian yang luas. Kemitraan merupakan suatu kesepakatan hubungan antara dua atau lebih pihak untuk mencapai tujuan bersama tertentu. Hubungan kemitraan antara dua pihak atau lebih dapat berupa hubungan dalam tingkatan yang dinilai lebih ”longgar” seperti ”koordinasi” (coordination) hingga tingkatan yang ”lebih mengikat” seperti ”kerjasama” (cooperation) dan ”kolaborasi” (collaboration).

Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi merupakan suatu ”pengaturan/penataan” beragam elemen ke dalam suatu pengoperasian yang terpadu dan harmonis. Motivasi utama dari koordinasi biasanya adalah menghindari kesenjangan dan tumpang-tindih berkaitan dengan tugas atau kerja para pihak. Para pihak biasanya berkoordinasi dengan harapan memperoleh hasil secara efisien. Koordinasi dilakukan umumnya dengan melakukan harmonisasi tugas, peran, dan jadwal dalam lingkungan dan sistem yang sederhana.
Sementara itu, kerjasama mengacu kepada praktik antara dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan bersama (mungkin juga termasuk cara/metodenya), kebalikan dari bekerja sendiri-sendiri dan berkompetisi. Motivasi utama dari kerjasama biasanya adalah memperoleh kemanfaatan bersama (hasil yang saling menguntungkan) melalui pembagian tugas. Seperti halnya dengan koordinasi, selain memperoleh hasil seefisien mungkin, para pihak biasanya bekerjasama dengan harapan menghemat biaya dan waktu. Kerjasama umumnya dilakukan untuk memecahkan persoalan dalam lingkungan dan sistem yang kompleks.

Kolaborasi
istilah kolaborasi biasanya digunakan untuk menjelaskan praktik dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dan melibatkan proses kerja masing-masing maupun kerja bersama dalam mencapai tujuan bersama tersebut.
Motivasi utamanya biasanya adalah memperoleh hasil-hasil kolektif yang tidak mungkin dicapai jika masing-masing pihak bekerja sendiri-sendiri. Selain seperti dalam kerjasama, para pihak berkolaborasi biasanya dengan harapan mendapatkan hasil-hasil yang inovatif, terobosan, dan/atau istimewa/luar biasa, serta prestasi kolektif yang memuaskan. Kolaborasi biasanya dilakukan agar memungkinkan muncul/berkembangnya saling pengertian dan realisasi visi bersama dalam lingkungan dan sistem yang kompleks.

Dengan demikian, kemitraan iptek sebenarnya dapat berupa hubungan umum antara dua pihak atau lebih, yang dapat bersifat koordinatif, bentuk kerjasama tertentu ataupun kolaborasi yang lebih khusus/spesifik di bidang iptek. Walaupun begitu, dalam beberapa literatur, istilah kemitraan sering dipertukarkan dengan kerjasama dan/atau kolaborasi, atau bahkan sebatas koordinasi. Konteks kemitraan iptek itu sendiri, terutama dari perspektif kebijakan, yang menjelaskan maksud hubungan antara para pihak dalam suatu praktik kemitraan iptek tertentu.

Kemitraan Strategis atau Aliansi Strategis
Kemitraan/aliansi strategis (strategic partnership / strategic alliance) [1] pada dasarnya merupakan kemitraan (atau sering juga disebut kolaborasi sinergis) antara dua atau multipihak dalam bidang-bidang spesifik yang dinilai strategis. Bidang tersebut bisa murni bisnis atau mungkin saja terkait dengan iptek (misalnya litbangyasa).
Definisi yang sangat umum ini tentu tidak/belum memberikan pengertian yang sangat bermakna (secara konsep maupun pragmatis) tentang kemitraan/aliansi strategis dan perbedaannya dengan bentuk kemitraan lainnya.[2] Berikut adalah beberapa pengertian kemitraan/aliansi strategis dalam literatur.
Kautz (2000) mendefinisikan bahwa kemitraan/aliansi strategis (untuk bisnis dengan bisnis, atau B2B) pada dasarnya merupakan suatu kemitraan yang melibatkan kombinasi beragam upaya bersama dengan mitra aliansi bisnis. Ini bisa berupa upaya misalnya untuk memperoleh harga yang lebih baik dengan cara pembelian bersama, hingga upaya mencari bisnis untuk menghasilkan produk bersama. Ide utamanya adalah meminimumkan risiko sekaligus memaksimumkan leverage perusahaan. Tetapi berbeda dengan kemitraan lain seperti merger dan akuisisi (M&A) yang berdampak pada perubahan struktural dan bersifat permanen pada perusahaan yang melakukannya, maka kemitraan/aliansi strategis sebenarnya lebih merupakan cara outsorcing, memperoleh layanan fungsional yang diperlukan oleh perusahaan dari sumber luar. Jadi suatu kemitraan/aliansi dalam hal ini adalah kolaborasi bisnis dengan bisnis (business-to-business/B2B collaboration), yang ada kalanya ini juga disebut jaringan bisnis (business network).[3]
Sementara itu, Gomes-Casseres (1999) mengungkapkan bahwa kemitraan/aliansi strategis merupakan suatu struktur organisasional untuk mengelola kontrak tak lengkap (incomplete contract) antara perusahaan-perusahaan yang terpisah, di mana setiap perusahaan mempunyai kendali terbatas [Benjamin Gomes-Casseres, 1999, Routledge Encyclopedia of International Political Economy].
“Berbeda” dengan B2B, skema kemitraan/aliansi T2B (Technology-to-Business) lebih merupakan kemitraan atau aliansi antara pihak yang berperan sebagai pengembang/penyedia teknologi dengan pihak penggunanya.[4] Bentuk ini bisa merupakan kasus khusus kemitraan/aliansi strategis, di mana salah satu perusahaan/organisasi berperan sebagai pemasok/penyedia teknologi bagi perusahaan mitra aliansinya, atau hubungan antara lembaga litbang dan/atau perguruan tinggi yang berperan sebagai pengembang/penyedia teknologi bagi perusahaan/organisasi mitra aliansinya.
Itu saja, agar tidak terlampau panjang.

Catatan :
[1] Catatan: istilah strategic partnership/strategic alliance sering dipertukarkan dalam literatur tentang bisnis/ekonomi atau iptek.
[2] Dalam literatur kebijakan, karena peran strategis iptek atau inovasi bagi para pihak secara umum dalam perekonomian atau kehidupan sosial modern, kecenderungan global dan/atau faktor-faktor dinamis lainnya dewasa ini, maka kemitraan iptek biasanya termasuk kategori kemitraan strategis.
[3] Lihat juga misalnya Freidheim, Jr. (1999), Chan dan Heide (1993), dan Killing (1993).
[4] Dalam pengertian ini termasuk “pengetahuan (knowledge)” dalam konteks luas.

Semoga bermanfaat.
salam.

Baca Selanjutnya...

Rabu, Desember 10, 2008

Topik "Kontemporer" dalam Litbangyasa TIK

Saya ingin mengangkat 3 [tiga] topik yang menurut saya sangat penting untuk dikembangkan dalam agenda litbangyasa TIK [teknologi informasi dan komunikasi] ke depan mengingat urgensi kekiniannya dan bagi antisipasi ke depan. Posting ini tentu hanya akan membatasi ulasan pada beberapa hal saja. Namun sebelumnya, saya merasa perlu mengawalinya dengan menyinggung secara singkat istilah dalam judul posting ini.
“Litbangyasa” maksudnya adalah penelitian, pengembangan dan perekayasaan. Pengertian masing-masing istilah bisa ditemui di berbagai sumber. Contohnya, di UU No. 18/2002, pengertiannya sebagai berikut:

  • Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru.
  • Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika.

Istilah Teknologi Informasi dan Komunikasi [TIK] merupakan istilah yang sudah dipahami luas, jadi, saya kira tak perlu penjelasan lanjut di sini.
Istilah “kontemporer” diambil dari bahasa Inggris [contemporary], artinya antara lain: adalah happening. existing, living, or coming into being during the same period of time; of about the same age or date; of the present time; modern. Jadi saya menggunakan istilah “kontemporer” di sini dengan pengertian [dimaksudkan sebagai] “kontekstualitas kekinian dan pemajuan/modernisasi untuk kebutuhan masa depan.”
Saya kira kita sepakat bahwa kemajuan TIK saat ini, memberikan peluang yang luas untuk menerapkannya di berbagai bidang pembangunan, yang dapat memberikan manfaat nyata bagi perbaikan kehidupan masyarakat, memajukan peradaban bangsa dan mempertahankan kedaulatan negara. Tetapi . . . Akh, saya tak perlu berkepanjangan bicara dalam kesempatan ini tentang berbagai kendala di Indonesia dalam pemajuan TIK [pengembangan maupun pendayagunaannya]. Saya lebih ingin menyampaikan beberapa ”isu” yang menurut hemat saya penting dan kontekstual untuk diangkat.
Pertama, kita tentu saja perlu semakin mampu memahami dan mengantisipasi dinamika perkembangan TIK beserta dampaknya di Indonesia. Istilah gagahnya mungkin ICT intelligence. Ini perlu dikembangkan ke depan.
Potret TIK Nasional maupun daerah yang komprehensif serta mampu menyajikan kondisi aktual TIK yang didasarkan pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan sangatlah penting untuk membantu mendapatkan gambaran yang tepat tentang situasi serta permasalahan yang terkait dengan TIK. Hal tersebut penting misalnya untuk memonitor tingkat kemajuan TIK dari berbagai sisi, baik dari sisi pemasok maupun penggunaannya, dan menjadi dasar dalam mengkaji berbagai permasalahan penting yang terkait dengan penerapannya.
Data yang terkait dengan TIK tidak mudah untuk dihimpun, apalagi secara reguler. Seringkali malah kita terpaksa menggunakan data yang dihimpun oleh “pihak asing”, yang sebenarnya berasal dari sumber-sumber di dalam negeri. Potret-potret e-readiness pun biasanya hanya menggambarkan secara umum antarnegara. Gambaran daerah dan antardaerah sangatlah minim.

Selain itu, metode/teknik analisis dan juga kajian-kajian atas berbagai aspek terkait dengan TIK perlu dikembangkan. Fenomena “konvergensi”, open system, dan lainnya adalah di antara isu seperti ini. Tim PTIK-BPPT telah memulainya, namun memang harus diakui ini masih jauh dari sempurna. Beberapa hasil dapat dilihat pada situs mirror di http://www.tikometer.or.id.
Kedua, bagaimana agar pengembangan dan pendayagunaan TIK lebih efektif dan efisien dalam pembangunan [termasuk pembangunan daerah]. Ya, sebagian sering menggunakan istilah ICT4D, sebagian E-Development atau istilah lain, yang esensinya sebenarnya sama. Langkah ini sudah mulai dilakukan oleh banyak pihak di Indonesia, namun dalam implementasi yang umumnya “parsial” dan bekerja sendiri-sendiri. Jika ingin ,
Ketiga, banyak bidang-bidang spesifik TIK yang membutuhkan pemahaman dan antipasi yang perlu disiapkan sedini mungkin di Indonesia. Untuk topik emerging ICT tertentu ini, beberapa contoh bidang yang menurut saya sangat penting untuk dipersiapkan antara lain adalah yang menyangkut TIK untuk mendukung penerbangan sipil [CNS/ATM], bidang “keamanan, pertahanan dan tentunya kedaulatan negara” [C4I, C4ISR atau ada yang menyebutnya C4ISTAR], dan ICT forensic.
Jadi, dalam ketiga hal yang saya sebutkan itulah kita perlu mendorong litbangyasa TIK kontemporer. Ini bukan berarti bahwa “topik” yang saya angkat sekedar agenda litbangyasa atau teknologi, tetapi juga industri dan kebijakan, serta aspek lainnya. Ini juga perlu saya tekankan karena pendekatan “sekuensial-linier” technology push dalam hal ini perlu dihindari. Karena itu, banyak pihak yang harus bersinergi. Hanya dengan cara itulah kita bisa memajukannya dan mendapatkan kemanfaatannya bagi Indonesia.

Semoga bermanfaat.

Salam

Baca Selanjutnya...

Minggu, Desember 07, 2008

Selamat Iedul Adha 1429H

Mengucapkan Selamat Iedul Adha 1429H.
Mohon maaf lahir dan bathin.
Semoga Allah swt, mengampuni semua kesalahan dan dosa kita, dan menerima amal-ibadah kita. Amien . . .
Salam

Baca Selanjutnya...

Jumat, Desember 05, 2008

Blogger Juga Manusia . . .

Saya belum berani meng-klaim sebagai seorang blogger “beneran”. Bahkan sebagai blogger pemula pun mungkin belum. Lama nge-blog saja belum seumur jagung, dan itu pun belajar sendiri. Jadi, maklum lah kalau desain, posting dan pasang widget-nya pun masih “nunak-nunuk” dan sering fail again – fail again [gagal maning, gagal maning].
Saya ingin sedikit berbagi tentang “pengamatan” saya – yang tentu ini bukan “penelitian ilmiah” – tentang “fenomena blogger”.

Kehidupan “dunia internet”, khususnya web blog, bagi saya merupakan refleksi “dunia nyata”. Hubungan sosial berkembang di antara para blogger serupa dengan hubungan sosial keseharian yang kita lihat di masyarakat sekitar. Para blogger berekspresi dalam bidang dan cara masing-masing. Sekalipun melalui “media” yang berbeda, kita berkomunikasi satu dengan lainnya layaknya kita “berhadapan langsung” dengan orang-orang lain.

Saya merasa – entah benar atau salah pengamatan saya ini - “keterkaitan sosial” (social connectedness) di antara para blogger berkembang sangat cepat. Bayangkan, saya yang seorang “pemalu” [hi hi . . . ], bisa berkawan dengan lebih banyak orang dibanding dengan keseharian yang sebenarnya [tentu tidak sebanyak para blogger betulan].

Kok bisa ya?
Hmm . . ., saya menduga trust (rasa saling percaya), harapan, dan “saling-membalas/timbal-balik” (reciprocity) sebagai nilai mendasar yang penting dalam hubungan sosial yang baik memang “ada” di antara para blogger, sekalipun mereka tidak/belum pernah bertemu satu dengan lainnya, bahkan mungkin dalam banyak kasus tidak/belum saling mengenal sebelumnya. Ini tentu sangat penting bagi "kohesi sosial," yang juga menentukan keberhasilan pembangunan masyarakat. Kohesi sosial (social cohesion) - atau "keeratan sosial" -merupakan keadaan [sekaligus juga proses perkembangan] yang mencerminkan nilai bersama, tantangan dan kesempatan bersama dari komunitas.

Menurut Jenson, ada lima dimensi kohesi sosial [lihat misalnya dalam salah satu tulisannya berjudul Mapping Social Cohesion: The State of Canadian Research, 1998], yaitu :

  1. Belonging -- Isolation
  2. Inclusion -- Exclusion
  3. Participation -- Non-involvement
  4. Recognition -- Rejection
  5. Legitimacy -- Illegitimacy.

Sekedar pembanding, Bernard (1999) mencermati dimensi kohesi sosial dengan melihat pada dimensi formal dan substantif seperti berikut :
- Formal :

  1. Equality / Inequality
  2. Recognition / Rejection
  3. Legitimacy / Illegitimacy.

- Substantif :

  1. Inclusion / Exclusion
  2. Belonging / Isolation
  3. Participation / Non-involvement.

Dalam komunitas blogger yang saya "kunjungi" sampai saat ini, nampaknya - sadar ataupun tidak sadar – berkembang semangat, nilai, dan harapan positif yang “sama”. Rasa “menjadi bagian (belonging)” contohnya dicerminkan oleh bergabungnya blogger dalam komunitas-komunitas tertentu yang mereka anggap “sesuai/nyaman” buat dirinya. Inklusi, tercermin dari “diterimanya” blogger oleh blogger lainnya. Saya belum melihat “penolakan” dari komunitas, setidaknya saya belum pernah “ditolak” bergabung dalam komunitas yang saya ikuti [mudah-mudahan tidak terjadi . . .]. Rasa ingin berpartisipasi pada umumnya berkembang di antara blogger. Kita akan merasa belum nge-blog, jika apa yang kita posting tidak dibaca [atau setidaknya ditengok] oleh blogger lain atau pengguna internet lain. Ini mendorong blogger berupaya agar blog-nya dilirik dan dibaca orang lain, serta saling mendukung sesama blogger. Proses aktif dan responsif blogger terhadap sesama blogger lain mencerminkan hal ini.

“Pengakuan” (recognition) juga umumnya tinggi. “Etika” saling memberi komentar, saling mengunjungi atau setidaknya sekedar saling menyapa seolah sudah menjadi ”aturan sopan santun” yang umum di antara para blogger. Pengakuan dan dukungan dari blogger lainnya dan rasa kebersamaan yang berkembang pun menjadi “pelegitimasi” blogger dalam dunianya – meski tanpa ijazah formal bidang teknologi informasi dan komunikasi, ataupun secarik kertas legal formal.

Dari sisi positif, komunitas-komunitas blogger berkembang pesat dan jaringan ini terus meningkat, yang sangat berpotensi memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat kita dan di luar kita. Pencitraan lebih positif tentang Indonesia pun sangat berpeluang diperkuat oleh perkembangan ini, setidaknya semangat di antara para blogger tentang hal ini cukup kuat.

Apakah semuanya ”serba indah” seperti yang saya tuliskan? Kalau tentang ini, dalam masyarakat ”dunia nyata” pun kita menghadapi dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang faktanya. Kegundahan, apatisma, bahkan kesinisan atas tindakan pemerintah dalam hal tertentu, bisa pula kita jumpai di dunia blogger maupun dunia nyata, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Sebagian mungkin sekedar berkeluh-kesah tanpa tahu persis apa yang harus dilakukan. Jadi, tak ada yang istimewa – blogger pun manusia. Dengan dunia yang dirasakan ”lebih demokratis”, saya melihat betapa para blogger umumnya memiliki kreativitas tinggi dan merasakan keleluasaan berekspresi yang ”lebih tinggi” di dunia internet.

Tentu kita sangat berharap bahwa para ”blogger panutan” yang umumnya didukung oleh komunitas yang luas ”secara sukarela”, memiliki kepemimpinan dan keprakarsaan untuk dapat membawa komunitasnya dalam mengembangkan dan mendayagunakan hal-hal yang positif sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Semoga . . .

Wallahu alam bissawab . . . .

Salam

Baca Selanjutnya...

KOMENTAR TERAKHIR

TTM => Teman-Teman Mem-blog

Creative Commons License
Blog by Tatang A Taufik is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 United States License.
Based on a work at tatang-taufik.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://tatang-taufik.blogspot.com/.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP