Tampilkan postingan dengan label blogger. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label blogger. Tampilkan semua postingan

Kamis, Desember 25, 2008

Blogger dan Telecenter : Dapatkah Lebih Berperan Dalam Pemberdayaan Masyarakat ?

Ok, sebaiknya saya mulai dari dua istilah di judul artikel ini : blogger dan telecenter. Saya kira semua sudah tahu yang saya maksud dengan blogger, yaitu penggiat blog – mereka yang membuat blog dan mempublikasikannya di internet – seperti rekan-rekan yang namanya tersebar di blog saya ini [saya kira sebagian besar pembaca artikel saya di sini juga adalah blogger].
Lalu apa itu telecenter? Ini juga sebetulnya bukan hal yang baru. Setidaknya saya pernah menyinggung dalam posting di blog ini, blog ini, blog ini atau blog ini, dan tautnya. Sederhananya, telecenter pada dasarnya merupakan tempat untuk mendukung pemberdayaan masyarakat – tentunya dengan beberapa fasilitas tertentu – yang dilengkapi dengan akses teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk internet.
Mengapa disebut telecenter? Ya pada awalnya, telecenter dikembangkan untuk pemberdayaan komunitas masyarakat yang “terpencil” atau “berjarak jauh” atau “terisolasi” dari masyarakat lainnya. Telecenter ini dianggap diperlukan untuk mengatasi keterpencilan/keterisolasian tersebut. Jadi ini dinilai berguna untuk aktivitas “bertele-tele” dalam arti berhubungan, berkomunikasi dan membangun jejaring dengan komunitas masyarakat lainnya. Telecenter tentu saja tidak diharapkan menjadi tempat aktivitas yang “bertele-tele” – “pakepuk-pabaliut”, kata orang Sunda - dalam arti tidak efektif-efisien dalam memberdayakan masyarakat.
Telecenter berkembang dengan nama yang beragam, seperti :

  • Micro Telecenter / Tele-shop
  • Mini Telecenter
  • Basic Telecenter / Standard Telecenter
  • Tele-hub
  • Full Service Telecenter
  • Multipuproses Community Telecenter (MCT)
  • Rural Telephone Co-operatives (RTCs).

Apakah di Indonesia sudah ada telecenter? Sudah [jumlahnya saya tidak punya data]. Tentu saja dibandingkan dengan yang dibutuhkan, jumlahnya masih sangat kurang. Beberapa hanya “hidup” sebentar; ada yang berkembang, bertahan atau mungkin sudah tinggal namanya saja. Silahkan dicek mungkin di sekitar tempat tinggal Anda sudah ada telecenter, mungkin juga belum.
Apakah telecenter hanya relevan untuk wilayah perdesaan atau wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa saja? Tentu tidak. “Keterisolasian” masih ditemui di Pulau jawa sekali pun. Di masa sekarang, persoalan ini bukan hanya menyangkut keterisolasian karena jarak fisik tetapi juga dalam dimensi lainnya. Coba renungkan isu-isu di bawah ini dan keterkaitannya dengan isu “keterisolasian” dalam masyarakat kita :

  • Kemiskinan multidimensi, pengangguran dan rendahnya daya saing.
  • Kesenjangan digital/pengetahuan.
  • Keterbatasan akses masyarakat terhadap berbagai sumber daya produktif, termasuk informasi/pengetahuan/teknologi.
  • Potensi lokal, termasuk warisan budaya.
  • Kebutuhan untuk mendorong kreativitas-inovasi, peningkatan difusi dan pembelajaran.

Nah, jelas jika masyarakat "yang tidak/kurang berdaya" menghadapi hal-hal seperti itu secara bersamaan, tidak mudah bagi mereka mengatasinya sendirian. Jika kita hanya berpangku tangan tidak memperdulikan keadaan seperti ini, apa kata anak-cucu kita kelak?

Itu kan tugas pemerintah? Siapa bilang? Memang benar pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam hal ini. Tapi percaya lah [wow seperti iklan], pemerintah saja tidak akan mampu mengatasi persoalan kemiskinan, kesenjangan, kertebelakangan dalam masyarakat sendirian. Setiap orang mempunyai tanggung jawab dalam memberdayakan masyarakat. Jika telah ada seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakannya, itu tidak otomatis menggugurkan kewajiban kita untuk melakukannya. Everybody has social responsibility . . .
Pada mulanya saya sempat agak terheran-heran. Karena di Negara yang oleh sebagian dari kita sering disebut “Negara Kapitalis” [bukan yang orangnya suka dengan huruf kapital] justru “kohesi sosial”-nya kok malah “bagus” [ini setidaknya dalam beberapa segi praktis tertentu]. Di tempat sekolah saya dulu, pemeliharaan kebersihan beberapa penggal jalan dilakukan oleh sehimpunan mahasiswa. Mereka juga ada yang berpraktik dengan membuat program komputer untuk pola penggantian tanaman atau pengairan di pertanian, dan sebagainya.
Ok, kembali ke “telecenter”, menurut saya kita perlu terus mengembangkannya. Setidaknya bisa difokuskan kepada upaya untuk :

  • Pemberdayaan komunitas masyarakat, dan
  • Pengembangan potensi terbaik setempat (termasuk “industri kreatif”).

Nah bagaimana dengan blogger? Wah, memang pengalaman saya jalan-jalan ke blog rekan-rekan belum lama. Tetapi menurut saya sungguh luar biasa. Blogger Indonesia banyak yang menguasai teknis di bidang teknologi informasi dan komunikasi [TIK, termasuk internet ini] dan banyak yang sangat kreatif. Bahkan banyak yang masih berusia sangat muda.
Rekan-rekan blogger dapat berpartisipasi dalam berbagi ilmu melalui “kegiatan sosial” sesuai bidangnya. Misalnya :

  • Memberikan pelajaran pengenalan TIK dan pemanfaatan informasi
  • Mengajarkan bagaimana memanfaatkan email, internet, dan sejenisnya [termasuk mungkin memanfaatkan dan membuat blog]

Apakah TIK dapat bermanfaat bagi masyarakat umum? Sangat banyak, misalnya :

  • Akses yang lebih baik terhadap informasi
  • Memberikan pilihan yang lebih luas/banyak kepada masyarakat [dalam banyak hal]
  • Kemungkinan-kemungkinan bagi peningkatan pendapatan
  • Berbagi pengetahuan (knowledge-sharing)
  • Mendorong transparansi dan partisipasi
  • Memperbaiki nilai-nilai demokrasi, dan lain-lain.

Jadi secara umum kita dapat mengembangkan telecenter untuk :

  • meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber informasi, pengetahuan/teknologi dan sumber daya produktif lainnya;
  • meningkatkan proses pembelajaran kontekstual;
  • mendorong kreativitas-inovasi;
  • mendorong peningkatan produktivitas;
  • memfasilitasi pengembangan jaringan kemitraan dan memberikan peluang positif bagi masyarakat untuk berkembang;
  • mendukung promosi potensi keunggulan khas setempat.

Lantas, apa peran utama telecenter? Pada dasarnya, peran telecenter dalam hal ini adalah :

  • Menyediakan informasi
  • Mengembangkan komunikasi
  • Membangun kapasitas komunitas
  • Memfasilitasi kegiatan komunitas masyarakat
  • Mengembangkan kemitraan
  • Mengembangkan dan mendiseminasikan muatan lokal.

Siapa yang kita bantu? Saya menyarankan prioritaskan kepada mereka yang memang paling membutuhkan. Tentu sedapat mungkin kita mulai di lingkungan sekitar kita. Boleh juga untuk kelompok tertentu yang memang memerlukan dibantu misalnya seperti kelompok perempuan, kelompok pelaku usaha kecil/menengah, anak-anak jalanan, dan lainnya.
Tempatnya ? Wah, saya kira banyak pilihan. Yang paling baik tentu berdiskusi dengan komunitas masyarakat yang bersangkutan. Lokasi bisa di tempat ibadah, sekolah, kantor kelurahan, atau tempat lain yang disepakati bersama. Di lingkungan sekolah, pemberdayaan masyarakat seperti melalui telecenter bisa termasuk aktivitas “Pembelajaran Luar Sekolah”. Silahkan ditanyakan kepada Dinas atau instansi yang menangani di daerah Anda.

Rekan blogger . . .
Sekecil apapun, jika masing-masing kita berpartisipasi dalam memberdayakan masyarakat, insya Allah Indonesia akan lebih baik.
Wallahu alam bissawab . . .

Semoga amal Anda dalam memberdayakan masyarakat dan sedekah Anda melalui kelebihan kemampuan yang diberikan Tuhan mendapat balasan yang jauh lebih baik dariNya.

Semoga bermanfaat

Salam

Catatan : jika dinilai berguna, silahkan disebarluaskan. Artikel ini bebas digandakan atau dimodifikasi dan dipublikasikan kembali dalam blog Anda sebagai tulisan Anda, asalkan untuk kebaikan. Karena saya sudah menyatakannya, insya Allah itu bukan plagiat kok . . .


Baca Selanjutnya...

Jumat, Desember 05, 2008

Blogger Juga Manusia . . .

Saya belum berani meng-klaim sebagai seorang blogger “beneran”. Bahkan sebagai blogger pemula pun mungkin belum. Lama nge-blog saja belum seumur jagung, dan itu pun belajar sendiri. Jadi, maklum lah kalau desain, posting dan pasang widget-nya pun masih “nunak-nunuk” dan sering fail again – fail again [gagal maning, gagal maning].
Saya ingin sedikit berbagi tentang “pengamatan” saya – yang tentu ini bukan “penelitian ilmiah” – tentang “fenomena blogger”.

Kehidupan “dunia internet”, khususnya web blog, bagi saya merupakan refleksi “dunia nyata”. Hubungan sosial berkembang di antara para blogger serupa dengan hubungan sosial keseharian yang kita lihat di masyarakat sekitar. Para blogger berekspresi dalam bidang dan cara masing-masing. Sekalipun melalui “media” yang berbeda, kita berkomunikasi satu dengan lainnya layaknya kita “berhadapan langsung” dengan orang-orang lain.

Saya merasa – entah benar atau salah pengamatan saya ini - “keterkaitan sosial” (social connectedness) di antara para blogger berkembang sangat cepat. Bayangkan, saya yang seorang “pemalu” [hi hi . . . ], bisa berkawan dengan lebih banyak orang dibanding dengan keseharian yang sebenarnya [tentu tidak sebanyak para blogger betulan].

Kok bisa ya?
Hmm . . ., saya menduga trust (rasa saling percaya), harapan, dan “saling-membalas/timbal-balik” (reciprocity) sebagai nilai mendasar yang penting dalam hubungan sosial yang baik memang “ada” di antara para blogger, sekalipun mereka tidak/belum pernah bertemu satu dengan lainnya, bahkan mungkin dalam banyak kasus tidak/belum saling mengenal sebelumnya. Ini tentu sangat penting bagi "kohesi sosial," yang juga menentukan keberhasilan pembangunan masyarakat. Kohesi sosial (social cohesion) - atau "keeratan sosial" -merupakan keadaan [sekaligus juga proses perkembangan] yang mencerminkan nilai bersama, tantangan dan kesempatan bersama dari komunitas.

Menurut Jenson, ada lima dimensi kohesi sosial [lihat misalnya dalam salah satu tulisannya berjudul Mapping Social Cohesion: The State of Canadian Research, 1998], yaitu :

  1. Belonging -- Isolation
  2. Inclusion -- Exclusion
  3. Participation -- Non-involvement
  4. Recognition -- Rejection
  5. Legitimacy -- Illegitimacy.

Sekedar pembanding, Bernard (1999) mencermati dimensi kohesi sosial dengan melihat pada dimensi formal dan substantif seperti berikut :
- Formal :

  1. Equality / Inequality
  2. Recognition / Rejection
  3. Legitimacy / Illegitimacy.

- Substantif :

  1. Inclusion / Exclusion
  2. Belonging / Isolation
  3. Participation / Non-involvement.

Dalam komunitas blogger yang saya "kunjungi" sampai saat ini, nampaknya - sadar ataupun tidak sadar – berkembang semangat, nilai, dan harapan positif yang “sama”. Rasa “menjadi bagian (belonging)” contohnya dicerminkan oleh bergabungnya blogger dalam komunitas-komunitas tertentu yang mereka anggap “sesuai/nyaman” buat dirinya. Inklusi, tercermin dari “diterimanya” blogger oleh blogger lainnya. Saya belum melihat “penolakan” dari komunitas, setidaknya saya belum pernah “ditolak” bergabung dalam komunitas yang saya ikuti [mudah-mudahan tidak terjadi . . .]. Rasa ingin berpartisipasi pada umumnya berkembang di antara blogger. Kita akan merasa belum nge-blog, jika apa yang kita posting tidak dibaca [atau setidaknya ditengok] oleh blogger lain atau pengguna internet lain. Ini mendorong blogger berupaya agar blog-nya dilirik dan dibaca orang lain, serta saling mendukung sesama blogger. Proses aktif dan responsif blogger terhadap sesama blogger lain mencerminkan hal ini.

“Pengakuan” (recognition) juga umumnya tinggi. “Etika” saling memberi komentar, saling mengunjungi atau setidaknya sekedar saling menyapa seolah sudah menjadi ”aturan sopan santun” yang umum di antara para blogger. Pengakuan dan dukungan dari blogger lainnya dan rasa kebersamaan yang berkembang pun menjadi “pelegitimasi” blogger dalam dunianya – meski tanpa ijazah formal bidang teknologi informasi dan komunikasi, ataupun secarik kertas legal formal.

Dari sisi positif, komunitas-komunitas blogger berkembang pesat dan jaringan ini terus meningkat, yang sangat berpotensi memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat kita dan di luar kita. Pencitraan lebih positif tentang Indonesia pun sangat berpeluang diperkuat oleh perkembangan ini, setidaknya semangat di antara para blogger tentang hal ini cukup kuat.

Apakah semuanya ”serba indah” seperti yang saya tuliskan? Kalau tentang ini, dalam masyarakat ”dunia nyata” pun kita menghadapi dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang faktanya. Kegundahan, apatisma, bahkan kesinisan atas tindakan pemerintah dalam hal tertentu, bisa pula kita jumpai di dunia blogger maupun dunia nyata, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Sebagian mungkin sekedar berkeluh-kesah tanpa tahu persis apa yang harus dilakukan. Jadi, tak ada yang istimewa – blogger pun manusia. Dengan dunia yang dirasakan ”lebih demokratis”, saya melihat betapa para blogger umumnya memiliki kreativitas tinggi dan merasakan keleluasaan berekspresi yang ”lebih tinggi” di dunia internet.

Tentu kita sangat berharap bahwa para ”blogger panutan” yang umumnya didukung oleh komunitas yang luas ”secara sukarela”, memiliki kepemimpinan dan keprakarsaan untuk dapat membawa komunitasnya dalam mengembangkan dan mendayagunakan hal-hal yang positif sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Semoga . . .

Wallahu alam bissawab . . . .

Salam

Baca Selanjutnya...

KOMENTAR TERAKHIR

TTM => Teman-Teman Mem-blog

Creative Commons License
Blog by Tatang A Taufik is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 United States License.
Based on a work at tatang-taufik.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://tatang-taufik.blogspot.com/.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP