Blogger Juga Manusia . . .
Saya belum berani meng-klaim sebagai seorang blogger “beneran”. Bahkan sebagai blogger pemula pun mungkin belum. Lama nge-blog saja belum seumur jagung, dan itu pun belajar sendiri. Jadi, maklum lah kalau desain, posting dan pasang widget-nya pun masih “nunak-nunuk” dan sering fail again – fail again [gagal maning, gagal maning].
Saya ingin sedikit berbagi tentang “pengamatan” saya – yang tentu ini bukan “penelitian ilmiah” – tentang “fenomena blogger”.
Kehidupan “dunia internet”, khususnya web blog, bagi saya merupakan refleksi “dunia nyata”. Hubungan sosial berkembang di antara para blogger serupa dengan hubungan sosial keseharian yang kita lihat di masyarakat sekitar. Para blogger berekspresi dalam bidang dan cara masing-masing. Sekalipun melalui “media” yang berbeda, kita berkomunikasi satu dengan lainnya layaknya kita “berhadapan langsung” dengan orang-orang lain.
Saya merasa – entah benar atau salah pengamatan saya ini - “keterkaitan sosial” (social connectedness) di antara para blogger berkembang sangat cepat. Bayangkan, saya yang seorang “pemalu” [hi hi . . . ], bisa berkawan dengan lebih banyak orang dibanding dengan keseharian yang sebenarnya [tentu tidak sebanyak para blogger betulan].
Kok bisa ya?
Hmm . . ., saya menduga trust (rasa saling percaya), harapan, dan “saling-membalas/timbal-balik” (reciprocity) sebagai nilai mendasar yang penting dalam hubungan sosial yang baik memang “ada” di antara para blogger, sekalipun mereka tidak/belum pernah bertemu satu dengan lainnya, bahkan mungkin dalam banyak kasus tidak/belum saling mengenal sebelumnya. Ini tentu sangat penting bagi "kohesi sosial," yang juga menentukan keberhasilan pembangunan masyarakat. Kohesi sosial (social cohesion) - atau "keeratan sosial" -merupakan keadaan [sekaligus juga proses perkembangan] yang mencerminkan nilai bersama, tantangan dan kesempatan bersama dari komunitas.
Menurut Jenson, ada lima dimensi kohesi sosial [lihat misalnya dalam salah satu tulisannya berjudul Mapping Social Cohesion: The State of Canadian Research, 1998], yaitu :
- Belonging -- Isolation
- Inclusion -- Exclusion
- Participation -- Non-involvement
- Recognition -- Rejection
- Legitimacy -- Illegitimacy.
Sekedar pembanding, Bernard (1999) mencermati dimensi kohesi sosial dengan melihat pada dimensi formal dan substantif seperti berikut :
- Formal :
- Equality / Inequality
- Recognition / Rejection
- Legitimacy / Illegitimacy.
- Substantif :
- Inclusion / Exclusion
- Belonging / Isolation
- Participation / Non-involvement.
Dalam komunitas blogger yang saya "kunjungi" sampai saat ini, nampaknya - sadar ataupun tidak sadar – berkembang semangat, nilai, dan harapan positif yang “sama”. Rasa “menjadi bagian (belonging)” contohnya dicerminkan oleh bergabungnya blogger dalam komunitas-komunitas tertentu yang mereka anggap “sesuai/nyaman” buat dirinya. Inklusi, tercermin dari “diterimanya” blogger oleh blogger lainnya. Saya belum melihat “penolakan” dari komunitas, setidaknya saya belum pernah “ditolak” bergabung dalam komunitas yang saya ikuti [mudah-mudahan tidak terjadi . . .]. Rasa ingin berpartisipasi pada umumnya berkembang di antara blogger. Kita akan merasa belum nge-blog, jika apa yang kita posting tidak dibaca [atau setidaknya ditengok] oleh blogger lain atau pengguna internet lain. Ini mendorong blogger berupaya agar blog-nya dilirik dan dibaca orang lain, serta saling mendukung sesama blogger. Proses aktif dan responsif blogger terhadap sesama blogger lain mencerminkan hal ini.
“Pengakuan” (recognition) juga umumnya tinggi. “Etika” saling memberi komentar, saling mengunjungi atau setidaknya sekedar saling menyapa seolah sudah menjadi ”aturan sopan santun” yang umum di antara para blogger. Pengakuan dan dukungan dari blogger lainnya dan rasa kebersamaan yang berkembang pun menjadi “pelegitimasi” blogger dalam dunianya – meski tanpa ijazah formal bidang teknologi informasi dan komunikasi, ataupun secarik kertas legal formal.
Dari sisi positif, komunitas-komunitas blogger berkembang pesat dan jaringan ini terus meningkat, yang sangat berpotensi memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat kita dan di luar kita. Pencitraan lebih positif tentang Indonesia pun sangat berpeluang diperkuat oleh perkembangan ini, setidaknya semangat di antara para blogger tentang hal ini cukup kuat.
Apakah semuanya ”serba indah” seperti yang saya tuliskan? Kalau tentang ini, dalam masyarakat ”dunia nyata” pun kita menghadapi dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang faktanya. Kegundahan, apatisma, bahkan kesinisan atas tindakan pemerintah dalam hal tertentu, bisa pula kita jumpai di dunia blogger maupun dunia nyata, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Sebagian mungkin sekedar berkeluh-kesah tanpa tahu persis apa yang harus dilakukan. Jadi, tak ada yang istimewa – blogger pun manusia. Dengan dunia yang dirasakan ”lebih demokratis”, saya melihat betapa para blogger umumnya memiliki kreativitas tinggi dan merasakan keleluasaan berekspresi yang ”lebih tinggi” di dunia internet.
Tentu kita sangat berharap bahwa para ”blogger panutan” yang umumnya didukung oleh komunitas yang luas ”secara sukarela”, memiliki kepemimpinan dan keprakarsaan untuk dapat membawa komunitasnya dalam mengembangkan dan mendayagunakan hal-hal yang positif sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Semoga . . .
Wallahu alam bissawab . . . .
Salam
6 comments:
salam kenal dari "Daus" di Tangerang juga...
Salam.
Terimakasih.
“telecenter” tuh apa?
Telecenter pada dasarnya merupakan tempat pemberdayaan masyarakat (community development) yang dilengkapi dengan akses teknologi informasi dan komunikasi [termasuk internet].
salam pak tatang. saya ijin ngelink blog ini ya, di page inspirer saya...makasih.
Monggo mas Dhoni.
Wah, "kesantunan militer & Jawa" -nya tetap terbawa di blog ya . . .
Salam
Posting Komentar