Rabu, Desember 31, 2008

Selamat Kepada Kepala BPPT Yang Baru

Mengucapkan selamat atas pelantikan

Bapak Dr.Ir. Marzan A. Iskandar, MEng. sebagai Kepala BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)
Gedung 2 BPPT, Jakarta, 31 Desember 2008.

Semoga dapat menjalankan amanah baru dengan baik, dengan semangat baru menjadikan BPPT yang jauh lebih baik untuk berkontribusi signifikan dalam pembangunan Indonesia.
Amien.


Tatang A. Taufik

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 27, 2008

Lomba Posting tentang Mendorong Kreativitas - Inovasi

Kreativitas dan keinovasian sangat penting dalam berbagai bidang, termasuk perbaikan bisnis, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Saya mengajak Anda rekan-rekan blogger Indonesia, untuk menulis artikel singkat mengenai gagasan atau pemikiran Anda “bagaimana mendorong kreativitas/keinovasian atau budaya kreatif-inovatif di daerah Anda”.


Tanda Apresiasi
Sebagai tanda apresiasi saya, saya akan kirimkan sebuah buku yang pernah saya tulis berjudul “Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan”, yang diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) tahun 2005.





Buku tersebut akan saya hadiahkan kepada 5 (lima) artikel terbaik menurut penilaian saya dan memenuhi persyaratan berikut.

Persyaratan

  1. Artikel yang ditulis bukan artikel milik orang lain.
  2. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia (dapat berupa hasil tulisan sendiri atau bersama).
  3. Artikel diposting di blog yang Anda miliki [catatan : tidak ada batasan jumlah kata dalam artikel].
  4. Daftarkan diri Anda dan beritahukan artikel yang Anda tulis kepada saya dalam kolom Komentar di bawah. Saya akan mengunjungi blog Anda secepatnya.
  5. Batas waktu penulisan posting adalah tanggal 15 Januari 2009 [posting sudah dapat dilihat sebelum tanggal 15 Januari 2009].
  6. Untuk memudahkan komunikasi kelak, mohon beritahu saya tentang identitas penulis yang jelas, bukan nama samaran. Jika Anda keberatan dengan nama asli dalam blog, Anda dapat memberitahukannya kepada saya kelak melalui email.
  7. Keputusan saya tentang pemenang tidak dapat diganggu gugat [kan namanya juga opini pribadi he he . .].

Pemenang akan diumumkan selambat-lambatnya tanggal 18 Januari 2009 di blog ini, di sistem inovasi, di klaster industri, dan di weblog sistem inovasi.

Semoga tulisan Anda bermanfaat dalam ikut serta mendorong kreativitas-keinovasian dan/atau budaya kreatif-inovatif di daerah Anda dan di Indonesia.
Selamat berlomba.
Tetap semangat untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Salam

Baca Selanjutnya...

Kamis, Desember 25, 2008

Blogger dan Telecenter : Dapatkah Lebih Berperan Dalam Pemberdayaan Masyarakat ?

Ok, sebaiknya saya mulai dari dua istilah di judul artikel ini : blogger dan telecenter. Saya kira semua sudah tahu yang saya maksud dengan blogger, yaitu penggiat blog – mereka yang membuat blog dan mempublikasikannya di internet – seperti rekan-rekan yang namanya tersebar di blog saya ini [saya kira sebagian besar pembaca artikel saya di sini juga adalah blogger].
Lalu apa itu telecenter? Ini juga sebetulnya bukan hal yang baru. Setidaknya saya pernah menyinggung dalam posting di blog ini, blog ini, blog ini atau blog ini, dan tautnya. Sederhananya, telecenter pada dasarnya merupakan tempat untuk mendukung pemberdayaan masyarakat – tentunya dengan beberapa fasilitas tertentu – yang dilengkapi dengan akses teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk internet.
Mengapa disebut telecenter? Ya pada awalnya, telecenter dikembangkan untuk pemberdayaan komunitas masyarakat yang “terpencil” atau “berjarak jauh” atau “terisolasi” dari masyarakat lainnya. Telecenter ini dianggap diperlukan untuk mengatasi keterpencilan/keterisolasian tersebut. Jadi ini dinilai berguna untuk aktivitas “bertele-tele” dalam arti berhubungan, berkomunikasi dan membangun jejaring dengan komunitas masyarakat lainnya. Telecenter tentu saja tidak diharapkan menjadi tempat aktivitas yang “bertele-tele” – “pakepuk-pabaliut”, kata orang Sunda - dalam arti tidak efektif-efisien dalam memberdayakan masyarakat.
Telecenter berkembang dengan nama yang beragam, seperti :

  • Micro Telecenter / Tele-shop
  • Mini Telecenter
  • Basic Telecenter / Standard Telecenter
  • Tele-hub
  • Full Service Telecenter
  • Multipuproses Community Telecenter (MCT)
  • Rural Telephone Co-operatives (RTCs).

Apakah di Indonesia sudah ada telecenter? Sudah [jumlahnya saya tidak punya data]. Tentu saja dibandingkan dengan yang dibutuhkan, jumlahnya masih sangat kurang. Beberapa hanya “hidup” sebentar; ada yang berkembang, bertahan atau mungkin sudah tinggal namanya saja. Silahkan dicek mungkin di sekitar tempat tinggal Anda sudah ada telecenter, mungkin juga belum.
Apakah telecenter hanya relevan untuk wilayah perdesaan atau wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa saja? Tentu tidak. “Keterisolasian” masih ditemui di Pulau jawa sekali pun. Di masa sekarang, persoalan ini bukan hanya menyangkut keterisolasian karena jarak fisik tetapi juga dalam dimensi lainnya. Coba renungkan isu-isu di bawah ini dan keterkaitannya dengan isu “keterisolasian” dalam masyarakat kita :

  • Kemiskinan multidimensi, pengangguran dan rendahnya daya saing.
  • Kesenjangan digital/pengetahuan.
  • Keterbatasan akses masyarakat terhadap berbagai sumber daya produktif, termasuk informasi/pengetahuan/teknologi.
  • Potensi lokal, termasuk warisan budaya.
  • Kebutuhan untuk mendorong kreativitas-inovasi, peningkatan difusi dan pembelajaran.

Nah, jelas jika masyarakat "yang tidak/kurang berdaya" menghadapi hal-hal seperti itu secara bersamaan, tidak mudah bagi mereka mengatasinya sendirian. Jika kita hanya berpangku tangan tidak memperdulikan keadaan seperti ini, apa kata anak-cucu kita kelak?

Itu kan tugas pemerintah? Siapa bilang? Memang benar pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam hal ini. Tapi percaya lah [wow seperti iklan], pemerintah saja tidak akan mampu mengatasi persoalan kemiskinan, kesenjangan, kertebelakangan dalam masyarakat sendirian. Setiap orang mempunyai tanggung jawab dalam memberdayakan masyarakat. Jika telah ada seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakannya, itu tidak otomatis menggugurkan kewajiban kita untuk melakukannya. Everybody has social responsibility . . .
Pada mulanya saya sempat agak terheran-heran. Karena di Negara yang oleh sebagian dari kita sering disebut “Negara Kapitalis” [bukan yang orangnya suka dengan huruf kapital] justru “kohesi sosial”-nya kok malah “bagus” [ini setidaknya dalam beberapa segi praktis tertentu]. Di tempat sekolah saya dulu, pemeliharaan kebersihan beberapa penggal jalan dilakukan oleh sehimpunan mahasiswa. Mereka juga ada yang berpraktik dengan membuat program komputer untuk pola penggantian tanaman atau pengairan di pertanian, dan sebagainya.
Ok, kembali ke “telecenter”, menurut saya kita perlu terus mengembangkannya. Setidaknya bisa difokuskan kepada upaya untuk :

  • Pemberdayaan komunitas masyarakat, dan
  • Pengembangan potensi terbaik setempat (termasuk “industri kreatif”).

Nah bagaimana dengan blogger? Wah, memang pengalaman saya jalan-jalan ke blog rekan-rekan belum lama. Tetapi menurut saya sungguh luar biasa. Blogger Indonesia banyak yang menguasai teknis di bidang teknologi informasi dan komunikasi [TIK, termasuk internet ini] dan banyak yang sangat kreatif. Bahkan banyak yang masih berusia sangat muda.
Rekan-rekan blogger dapat berpartisipasi dalam berbagi ilmu melalui “kegiatan sosial” sesuai bidangnya. Misalnya :

  • Memberikan pelajaran pengenalan TIK dan pemanfaatan informasi
  • Mengajarkan bagaimana memanfaatkan email, internet, dan sejenisnya [termasuk mungkin memanfaatkan dan membuat blog]

Apakah TIK dapat bermanfaat bagi masyarakat umum? Sangat banyak, misalnya :

  • Akses yang lebih baik terhadap informasi
  • Memberikan pilihan yang lebih luas/banyak kepada masyarakat [dalam banyak hal]
  • Kemungkinan-kemungkinan bagi peningkatan pendapatan
  • Berbagi pengetahuan (knowledge-sharing)
  • Mendorong transparansi dan partisipasi
  • Memperbaiki nilai-nilai demokrasi, dan lain-lain.

Jadi secara umum kita dapat mengembangkan telecenter untuk :

  • meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber informasi, pengetahuan/teknologi dan sumber daya produktif lainnya;
  • meningkatkan proses pembelajaran kontekstual;
  • mendorong kreativitas-inovasi;
  • mendorong peningkatan produktivitas;
  • memfasilitasi pengembangan jaringan kemitraan dan memberikan peluang positif bagi masyarakat untuk berkembang;
  • mendukung promosi potensi keunggulan khas setempat.

Lantas, apa peran utama telecenter? Pada dasarnya, peran telecenter dalam hal ini adalah :

  • Menyediakan informasi
  • Mengembangkan komunikasi
  • Membangun kapasitas komunitas
  • Memfasilitasi kegiatan komunitas masyarakat
  • Mengembangkan kemitraan
  • Mengembangkan dan mendiseminasikan muatan lokal.

Siapa yang kita bantu? Saya menyarankan prioritaskan kepada mereka yang memang paling membutuhkan. Tentu sedapat mungkin kita mulai di lingkungan sekitar kita. Boleh juga untuk kelompok tertentu yang memang memerlukan dibantu misalnya seperti kelompok perempuan, kelompok pelaku usaha kecil/menengah, anak-anak jalanan, dan lainnya.
Tempatnya ? Wah, saya kira banyak pilihan. Yang paling baik tentu berdiskusi dengan komunitas masyarakat yang bersangkutan. Lokasi bisa di tempat ibadah, sekolah, kantor kelurahan, atau tempat lain yang disepakati bersama. Di lingkungan sekolah, pemberdayaan masyarakat seperti melalui telecenter bisa termasuk aktivitas “Pembelajaran Luar Sekolah”. Silahkan ditanyakan kepada Dinas atau instansi yang menangani di daerah Anda.

Rekan blogger . . .
Sekecil apapun, jika masing-masing kita berpartisipasi dalam memberdayakan masyarakat, insya Allah Indonesia akan lebih baik.
Wallahu alam bissawab . . .

Semoga amal Anda dalam memberdayakan masyarakat dan sedekah Anda melalui kelebihan kemampuan yang diberikan Tuhan mendapat balasan yang jauh lebih baik dariNya.

Semoga bermanfaat

Salam

Catatan : jika dinilai berguna, silahkan disebarluaskan. Artikel ini bebas digandakan atau dimodifikasi dan dipublikasikan kembali dalam blog Anda sebagai tulisan Anda, asalkan untuk kebaikan. Karena saya sudah menyatakannya, insya Allah itu bukan plagiat kok . . .


Baca Selanjutnya...

Selasa, Desember 16, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [Bagian 3]

Tulisan ini merupakan bagian akhir sebagai lanjutan dari artikel di posting sebelumnya. Muatan tentang topik ini dapat dilihat dalam buku yang saya tulis [2005] berjudul "Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan".

3. Kegagalan Sistemik (Systemic Failures)
Paradigma sistem yang mencermati ”sistem inovasi” membawa pada argumen kegagalan sistemik, selain kegagalan pasar (dan kegagalan pemerintah) yang pada dasarnya telah dikenal dalam arus utama ekonomi, sebagai landasan bagi pengembangan kebijakan inovasi.
Kegagalan sistemik pada dasarnya merupakan keadaan di mana suatu (beberapa) sistem “terperangkap” dalam kondisi tidak ideal karena faktor pasar maupun non-pasar, tidak adanya atau tidak bekerjanya fungsi tertentu dalam sistem, atau sebab-sebab penting lain yang sangat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi proses atau kinerja sistem.
Dalam konteks sistem inovasi, kebijakan inovasi [baca = kebijakan untuk mendorong perkembangan sistem inovasi] pada prinsipnya mengkomplementasi perusahaan dan pasar, bukan menggantikan atau menduplikasinya. Dalam hal ini, menurut Edquist (1999, 2001), setidaknya terdapat empat kategori kegagalan sistem (yang sebagian berhimpitan satu dengan lainnya), yaitu:

  1. Fungsi-fungsi dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada;
  2. Organisasi-organisasi yang ada tidak sesuai atau organisasi yang diperlukan tidak ada;
  3. Kelembagaan yang ada tidak sesuai atau kelembagaan yang diperlukan tidak ada; atau
  4. Interaksi atau keterkaitan antarelemen dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada.

Sementara itu, Smith (2000, 1996) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang mendasari perlunya intervensi pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem inovasi, yaitu:

  1. Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in infrastructural provision and investment) : Ini misalnya menyangkut infrastruktur fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan komunikasi) maupun yang berkaitan dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga teknis yang didukung oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau bahkan kementerian dalam pemerintah.
  2. Kegagalan transisi (transition failures) : Ini misalnya berkaitan dengan persoalan-persoalan serius yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi. Menurut Smith, banyak kebijakan publik yang dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengatasi isu-isu demikian namun seringkali tanpa alasan yang eksplisit.
  3. Lock-in failures : Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan beralih dari teknologi yang digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem perekonomian secara keseluruhan yang dapat “terkunci atau terperangkap” (locked-in) dalam paradigma teknologi tertentu. Lembaga-lembaga eksternal, dengan kemampuan untuk membangkitkan insentif, untuk mengembangkan alternatif-alternatif teknologi, dan untuk menumbuhkembangkan sistem-sistem teknologi yang baru (emerging) sangat diperlukan.
  4. Kegagalan institusional : sehimpunan terpadu dari lembaga publik dan swasta, sistem regulasi (regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut mempengaruhi konteks ekonomi dan perilaku teknis secara keseluruhan akan membentuk peluang teknologis dan kapabilitas perusahaan. Kegagalan dalam sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi inovasi yang berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan dalam perundangan HKI.

Kompleksnya sistem inovasi turut mendorong argumen dengan perspektif (dan tekanan) yang tak selalu persis sama yang diajukan berkaitan dengan perlunya kebijakan inovasi. Arnold dan Boekholt (2002) misalnya lebih menekankan isu argumen berikut:

  1. Kegagalan kapabilitas (capability failures) : Hal ini berkaitan dengan kemampuan perusahaan bertindak demi kepentingan terbaiknya karena keterbatasan manajerial, kurangnya pemahaman teknologi, kelemahan kemampuan pembelajaran atau kapasitas absorpsi untuk memanfaatkan teknologi yang berasal dari luar perusahaan.
  2. Kegagalan dalam lembaga (failures in institutions) : kegagalan dalam berbagai organisasi, baik bisnis maupun non-bisnis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pengetahuan menghambat perkembangan inovasi dan pertumbuhan. Demikian juga kegagalan berinvestasi dalam lembaga-lembaga pengetahuan.
  3. Kegagalan jaringan (network failures) : Hal ini berkaitan dengan interaksi antaraktor, baik karena jumlah dan kualitas keterkaitan yang rendah (misalnya karena tidak berkembangnya rasa saling percaya atau keterisolasian para aktor dari konteks sosial), maupun transition failures dan lock-in failures (di mana sistem inovasi ataupun klaster industri tidak mampu memanfaatkan peluang teknologi baru atau terperangkap dalam teknologi yang lama).
  4. Kegagalan kerangka kerja (framework failures) : Inovasi yang efektif akan turut bergantung pada kerangka regulasi dan kondisi lain yang melatarbelakangi inovasi (misalnya sofistikasi konsumen, nilai-nilai sosial dan budaya).

Uraian di atas menunjukkan beragam potensi bagi identifikasi dan elaborasi isu kebijakan inovasi yang perlu dicermati dalam konteks suatu sistem inovasi.

Semoga bermanfaat.

Salam.


Baca Selanjutnya...

Minggu, Desember 14, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [Bagian 2]

Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel di posting sebelumnya.

2. Kegagalan Pasar (Market Failures)
Secara umum, kegagalan pasar merupakan keadaan di mana alokasi barang dan/atau jasa oleh “pasar bebas” (free market) tidak efisien – atau dengan kata lain “mekanisme pasar” tidak bekerja dengan baik sehingga tidak membawa kepada “efisiensi ekonomi” (economic efficiency). Kegagalan pasar demikian membawa pada keadaan yang “merugikan” bagi masyarakat umum [bagi tercapainya social welfare tertinggi], walaupun [mungkin] menguntungkan sekelompok orang.
Argumen kegagalan pasar merupakan argumen ”klasik” perlunya intervensi pemerintah bagi kebijakan inovasi (termasuk kebijakan iptek). Tassey (2002, 1999) misalnya mengungkapkan salah satu bentuk kegagalan pasar terkait dengan litbang adalah fenomena “investasi yang terlampau rendah” (underinvestment) dalam pengembangan dan difusi pengetahuan/teknologi, yang menurutnya terjadi dalam empat kategori, yaitu:

  • aggregate underinvestment oleh suatu industri (misalnya rendahnya litbang keseluruhan);
  • investasi yang terlampau rendah dalam litbang terapan di perusahaan-perusahaan baru/pemula (misalnya tidak memadainya modal ventura);
  • investasi yang terlampau rendah dalam pembaharuan teknologi yang ada (inkremental) atau penciptaan teknologi baru (misalnya ketidak-memadaian riset teknologi generik);
  • investasi yang terlampau rendah dalam mendukung infrastruktur teknologi (misalnya kurangnya litbang infratechnology).

Karena proses pengembangan teknologi berlangsung secara siklus (cyclically), kegagalan pasar yang mengarah kepada investasi yang terlampau rendah cenderung berulang terus. Selain itu, beragam jenis kegagalan pasar yang berbeda biasanya terjadi dan membutuhkan pola respons dari pemerintah atau industri-pemerintah yang berbeda pula.
Sementara itu, Cornet dan Gelauff (2002), menyoroti teori dan bukti empiris yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tidak berurusan dengan seluruh biaya dan manfaat sosial dari inovasi. Karena itu maka "pasar inovasi" (the innovation market) gagal. Beberapa mekanisme menggeser insentif swasta untuk berinovasi dari insentif yang optimal secara sosial :

  1. Knowledge spillovers : pengetahuan baru “bocor/menyebar” ke perusahaan lainnya tanpa kompensasi bagi si inovator. Artinya, dalam penyebarannya, pihak inovator tidak sepenuhnya dapat melindungi pemanfaatan konsep inovasi oleh pihak-pihak lain.
  2. Rent spillovers : inovator tidak dapat menarik imbalan dari pelanggannya atas nilai sepenuhnya yang dihasilkan dari inovasi. Istilah knowledge spillovers dan rent spillovers pada dasarnya terkait dengan sifat non rivalry and non excludability dari inovasi.
  3. Kegagalan pasar asuransi (insurance market failure) : risk-averse innovator[1] tidak mampu menanggung sehimpunan risiko inovasi;
  4. Dampak pencurian bisnis (business-stealing effects) : inovasi berpotensi memperkuat posisi pelaku bisnis mencuri bisnis pesaingnya. Dampak pencurian bisnis (business-stealing effects) memperkuat insentif bagi pelaku bisnis, yang melampaui tingkat optimum sosial. Sementara itu, jenis kegagalan pasar yang lain mengurangi insentif tersebut di bawah apa yang dikehendaki oleh masyarakat.

Kegagalan pasar juga menghambat difusi inovasi dalam ekonomi, terutama menyangkut:

  1. Informasi tak sempurna (imperfect information) : pasar belum sepenuhnya memahami (terbiasa) dengan keseluruhan inovasi dan karenanya enggan untuk mengadopsi inovasi tersebut serta berinvestasi dalam perbaikan-perbaikan dari inovasi tersebut;
  2. Eksternalitas jaringan (network externalities) : nilai sosial dari inovasi bergantung pada jumlah pengguna. Karena itu, ada insentif untuk menunggu untuk mengadopsi inovasi dan menunggu berinvestasi dalam inovasi komplemennya;
  3. Kekuatan pasar (market power) : Para pengguna (pelanggan) akan berbeda dalam kesediaannya membayar (willingness to pay) atas inovasi. Oleh karena itu, inovator memulainya dengan membebankan harga tinggi kepada pengguna yang paling awal menghendaki inovasi, selanjutnya mengurangi harga secara bertahap untuk melayani pengguna-pengguna yang berikutnya. Kecepatan adopsi biasanya relatif lambat;
  4. Keunggulan pelopor (first-mover advantage) : suatu inovasi yang kecil dapat mendorong produk-produk yang ada menjadi tertinggal/kadaluarsa (obsolete). Oleh karena itu, difusi yang cepat akan lebih menarik dari perspektif inovator, namun tidak terlampau menarik bagi masyarakat.

Catatan :
[1] Inovator yang sikapnya lebih condong “menghindari risiko.”

Sekian dulu.

Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 13, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [1]

Penjelasan ini lebih saya tujukan bagi masyarakat yang "bukan ekonom." Mudah-mudahan dapat membantu pemahaman atas beberapa istilah teknis yang berkaitan dengan "kebijakan inovasi" . . .

Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan publik (public policy) pada dasarnya diperlukan manakala muncul “isu kebijakan”. Yang dimaksud dengan isu kebijakan adalah persoalan-persoalan dalam masyarakat [sebagai suatu sistem dalam pengertian umum] yang tidak dapat dipecahkan sendiri [menurut mekanisme otomatis] oleh para anggota sistem. Dengan demikian kebijakan publik atau tindakan intervensi [campur tangan] pemerintah [atau sistem pemerintahan] dianggap perlu untuk memperbaiki keadaan atau mengubah status quo.
Dalam penguatan sistem inovasi, ada 3 [tiga] kelompok argumen, yang sebetulnya saling terkait satu dengan lainnya, yang pada umumnya dinilai sebagai “argumen” adanya isu kebijakan inovasi. Kelompok argumen tersebut adalah: kegagalan pemerintah (government failures), kegagalan pasar (market failures), dan kegagalan sistemik (systemic failures). Dalam posting kali ini, saya akan diskusikan satu per satu hal tersebut secara singkat.

1. Kegagalan Pemerintah (Government Failures)
Ini lebih merupakan terminologi atau istilah teknis yang tentu tidak dapat diartikan sebagai [jangan disamakan dengan] “pemerintah yang gagal”. Kegagalan pemerintah [kadang disebut juga non-market failures] pada dasarnya adalah tindakan [intervensi] pemerintah yang mengakibatkan tidak efisiennya alokasi sumber daya dan produk [barang dan/atau jasa] dibanding dengan kondisi tanpa intervensi. Dalam ekonomi, ini sering disebut juga tindakan pemerintah yang “mendistorsi” pasar.
Kegagalan pemerintah umumnya lebih merupakan “ketidakmampuan” atau persoalan yang menghambat pemerintah bertindak efektif dan efisien dalam menangani persoalan tertentu.
Adakah “kegagalan pemerintah” seperti ini dalam pengembangan sistem inovasi? Penerapan pajak pada aktivitas inovatif [misalnya perijinan investasi/bisnis inovatif yang tidak efisien], pemberlakuan tarif tinggi pada barang-barang teknologi yang sangat diperlukan bagi pemajuan ekonomi di dalam negeri [industri setempat] atau bagi perkembangan kemajuan pendidikan/iptek, tidak efektifnya penegakan hukum dalam pelanggaran HKI, dan sejenisnya merupakan contoh dari bentuk kegagalan ini. Kegagalan demikian dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi pada dasarnya merupakan bagian dari kegagalan sistemik juga [yang akan dijelaskan belakangan].

Bersambung . . . Dilanjutkan nanti saja karena aktivitas saya saat mau posting ini "terdistorsi" oleh hal lain yang urgen . . .
Salam

Baca Selanjutnya...

Kamis, Desember 11, 2008

Kemitraan, Koordinasi, dan Kolaborasi Iptek [?]

Tadinya saya akan posting topik lain. tetapi "zona kenyamanan" saya agak terganggu gara-gara masih sering mendengar percakapan di beberapa kesempatan tentang istilah yang sebenarnya sering diucapkan. Setelah mendengar penjelasan-penjelasan yang membuat saya mengernyitkan dahi, baru saya memahami yang dimaksud oleh si pembicara.
Istilah yang saya maksud adalah "kemitraan, koordinasi, kerjasama, dan kolaborasi" di bidang iptek [ilmu pengetahuan dan teknologi] khususnya. Saya ingin berbagi sedikit, mudah-mudahan bermanfaat dan semakin sedikit penggunaan istilah-istilah tersebut yang kurang tepat.

Kemitraan
Istilah "kemitraan iptek" (ilmu pengetahuan dan teknologi) umumnya digunakan untuk menunjukkan suatu kesepakatan hubungan antara dua atau lebih pihak untuk mencapai tujuan bersama tertentu dalam bidang iptek. Kesepakatan yang terjadi bisa mengikat secara hukum atau juga bersifat lebih longgar. Para pihak yang terlibat dalam kemitraan iptek bisa merupakan pengembang/penyedia iptek atau penyedia dan pengguna iptek. Sementara lingkup kemitraan iptek bisa dalam pengembangan/inovasi, alih/transfer, pemanfaatan, difusi, dan/atau penguasaan iptek.
Beberapa literatur menggunakan kata ”kemitraan” (partnership) untuk hubungan/konteks bisnis. Walaupun begitu, istilah ”kemitraan” pada dasarnya memiliki pengertian yang luas. Kemitraan merupakan suatu kesepakatan hubungan antara dua atau lebih pihak untuk mencapai tujuan bersama tertentu. Hubungan kemitraan antara dua pihak atau lebih dapat berupa hubungan dalam tingkatan yang dinilai lebih ”longgar” seperti ”koordinasi” (coordination) hingga tingkatan yang ”lebih mengikat” seperti ”kerjasama” (cooperation) dan ”kolaborasi” (collaboration).

Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi merupakan suatu ”pengaturan/penataan” beragam elemen ke dalam suatu pengoperasian yang terpadu dan harmonis. Motivasi utama dari koordinasi biasanya adalah menghindari kesenjangan dan tumpang-tindih berkaitan dengan tugas atau kerja para pihak. Para pihak biasanya berkoordinasi dengan harapan memperoleh hasil secara efisien. Koordinasi dilakukan umumnya dengan melakukan harmonisasi tugas, peran, dan jadwal dalam lingkungan dan sistem yang sederhana.
Sementara itu, kerjasama mengacu kepada praktik antara dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan bersama (mungkin juga termasuk cara/metodenya), kebalikan dari bekerja sendiri-sendiri dan berkompetisi. Motivasi utama dari kerjasama biasanya adalah memperoleh kemanfaatan bersama (hasil yang saling menguntungkan) melalui pembagian tugas. Seperti halnya dengan koordinasi, selain memperoleh hasil seefisien mungkin, para pihak biasanya bekerjasama dengan harapan menghemat biaya dan waktu. Kerjasama umumnya dilakukan untuk memecahkan persoalan dalam lingkungan dan sistem yang kompleks.

Kolaborasi
istilah kolaborasi biasanya digunakan untuk menjelaskan praktik dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dan melibatkan proses kerja masing-masing maupun kerja bersama dalam mencapai tujuan bersama tersebut.
Motivasi utamanya biasanya adalah memperoleh hasil-hasil kolektif yang tidak mungkin dicapai jika masing-masing pihak bekerja sendiri-sendiri. Selain seperti dalam kerjasama, para pihak berkolaborasi biasanya dengan harapan mendapatkan hasil-hasil yang inovatif, terobosan, dan/atau istimewa/luar biasa, serta prestasi kolektif yang memuaskan. Kolaborasi biasanya dilakukan agar memungkinkan muncul/berkembangnya saling pengertian dan realisasi visi bersama dalam lingkungan dan sistem yang kompleks.

Dengan demikian, kemitraan iptek sebenarnya dapat berupa hubungan umum antara dua pihak atau lebih, yang dapat bersifat koordinatif, bentuk kerjasama tertentu ataupun kolaborasi yang lebih khusus/spesifik di bidang iptek. Walaupun begitu, dalam beberapa literatur, istilah kemitraan sering dipertukarkan dengan kerjasama dan/atau kolaborasi, atau bahkan sebatas koordinasi. Konteks kemitraan iptek itu sendiri, terutama dari perspektif kebijakan, yang menjelaskan maksud hubungan antara para pihak dalam suatu praktik kemitraan iptek tertentu.

Kemitraan Strategis atau Aliansi Strategis
Kemitraan/aliansi strategis (strategic partnership / strategic alliance) [1] pada dasarnya merupakan kemitraan (atau sering juga disebut kolaborasi sinergis) antara dua atau multipihak dalam bidang-bidang spesifik yang dinilai strategis. Bidang tersebut bisa murni bisnis atau mungkin saja terkait dengan iptek (misalnya litbangyasa).
Definisi yang sangat umum ini tentu tidak/belum memberikan pengertian yang sangat bermakna (secara konsep maupun pragmatis) tentang kemitraan/aliansi strategis dan perbedaannya dengan bentuk kemitraan lainnya.[2] Berikut adalah beberapa pengertian kemitraan/aliansi strategis dalam literatur.
Kautz (2000) mendefinisikan bahwa kemitraan/aliansi strategis (untuk bisnis dengan bisnis, atau B2B) pada dasarnya merupakan suatu kemitraan yang melibatkan kombinasi beragam upaya bersama dengan mitra aliansi bisnis. Ini bisa berupa upaya misalnya untuk memperoleh harga yang lebih baik dengan cara pembelian bersama, hingga upaya mencari bisnis untuk menghasilkan produk bersama. Ide utamanya adalah meminimumkan risiko sekaligus memaksimumkan leverage perusahaan. Tetapi berbeda dengan kemitraan lain seperti merger dan akuisisi (M&A) yang berdampak pada perubahan struktural dan bersifat permanen pada perusahaan yang melakukannya, maka kemitraan/aliansi strategis sebenarnya lebih merupakan cara outsorcing, memperoleh layanan fungsional yang diperlukan oleh perusahaan dari sumber luar. Jadi suatu kemitraan/aliansi dalam hal ini adalah kolaborasi bisnis dengan bisnis (business-to-business/B2B collaboration), yang ada kalanya ini juga disebut jaringan bisnis (business network).[3]
Sementara itu, Gomes-Casseres (1999) mengungkapkan bahwa kemitraan/aliansi strategis merupakan suatu struktur organisasional untuk mengelola kontrak tak lengkap (incomplete contract) antara perusahaan-perusahaan yang terpisah, di mana setiap perusahaan mempunyai kendali terbatas [Benjamin Gomes-Casseres, 1999, Routledge Encyclopedia of International Political Economy].
“Berbeda” dengan B2B, skema kemitraan/aliansi T2B (Technology-to-Business) lebih merupakan kemitraan atau aliansi antara pihak yang berperan sebagai pengembang/penyedia teknologi dengan pihak penggunanya.[4] Bentuk ini bisa merupakan kasus khusus kemitraan/aliansi strategis, di mana salah satu perusahaan/organisasi berperan sebagai pemasok/penyedia teknologi bagi perusahaan mitra aliansinya, atau hubungan antara lembaga litbang dan/atau perguruan tinggi yang berperan sebagai pengembang/penyedia teknologi bagi perusahaan/organisasi mitra aliansinya.
Itu saja, agar tidak terlampau panjang.

Catatan :
[1] Catatan: istilah strategic partnership/strategic alliance sering dipertukarkan dalam literatur tentang bisnis/ekonomi atau iptek.
[2] Dalam literatur kebijakan, karena peran strategis iptek atau inovasi bagi para pihak secara umum dalam perekonomian atau kehidupan sosial modern, kecenderungan global dan/atau faktor-faktor dinamis lainnya dewasa ini, maka kemitraan iptek biasanya termasuk kategori kemitraan strategis.
[3] Lihat juga misalnya Freidheim, Jr. (1999), Chan dan Heide (1993), dan Killing (1993).
[4] Dalam pengertian ini termasuk “pengetahuan (knowledge)” dalam konteks luas.

Semoga bermanfaat.
salam.

Baca Selanjutnya...

Rabu, Desember 10, 2008

Topik "Kontemporer" dalam Litbangyasa TIK

Saya ingin mengangkat 3 [tiga] topik yang menurut saya sangat penting untuk dikembangkan dalam agenda litbangyasa TIK [teknologi informasi dan komunikasi] ke depan mengingat urgensi kekiniannya dan bagi antisipasi ke depan. Posting ini tentu hanya akan membatasi ulasan pada beberapa hal saja. Namun sebelumnya, saya merasa perlu mengawalinya dengan menyinggung secara singkat istilah dalam judul posting ini.
“Litbangyasa” maksudnya adalah penelitian, pengembangan dan perekayasaan. Pengertian masing-masing istilah bisa ditemui di berbagai sumber. Contohnya, di UU No. 18/2002, pengertiannya sebagai berikut:

  • Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru.
  • Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika.

Istilah Teknologi Informasi dan Komunikasi [TIK] merupakan istilah yang sudah dipahami luas, jadi, saya kira tak perlu penjelasan lanjut di sini.
Istilah “kontemporer” diambil dari bahasa Inggris [contemporary], artinya antara lain: adalah happening. existing, living, or coming into being during the same period of time; of about the same age or date; of the present time; modern. Jadi saya menggunakan istilah “kontemporer” di sini dengan pengertian [dimaksudkan sebagai] “kontekstualitas kekinian dan pemajuan/modernisasi untuk kebutuhan masa depan.”
Saya kira kita sepakat bahwa kemajuan TIK saat ini, memberikan peluang yang luas untuk menerapkannya di berbagai bidang pembangunan, yang dapat memberikan manfaat nyata bagi perbaikan kehidupan masyarakat, memajukan peradaban bangsa dan mempertahankan kedaulatan negara. Tetapi . . . Akh, saya tak perlu berkepanjangan bicara dalam kesempatan ini tentang berbagai kendala di Indonesia dalam pemajuan TIK [pengembangan maupun pendayagunaannya]. Saya lebih ingin menyampaikan beberapa ”isu” yang menurut hemat saya penting dan kontekstual untuk diangkat.
Pertama, kita tentu saja perlu semakin mampu memahami dan mengantisipasi dinamika perkembangan TIK beserta dampaknya di Indonesia. Istilah gagahnya mungkin ICT intelligence. Ini perlu dikembangkan ke depan.
Potret TIK Nasional maupun daerah yang komprehensif serta mampu menyajikan kondisi aktual TIK yang didasarkan pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan sangatlah penting untuk membantu mendapatkan gambaran yang tepat tentang situasi serta permasalahan yang terkait dengan TIK. Hal tersebut penting misalnya untuk memonitor tingkat kemajuan TIK dari berbagai sisi, baik dari sisi pemasok maupun penggunaannya, dan menjadi dasar dalam mengkaji berbagai permasalahan penting yang terkait dengan penerapannya.
Data yang terkait dengan TIK tidak mudah untuk dihimpun, apalagi secara reguler. Seringkali malah kita terpaksa menggunakan data yang dihimpun oleh “pihak asing”, yang sebenarnya berasal dari sumber-sumber di dalam negeri. Potret-potret e-readiness pun biasanya hanya menggambarkan secara umum antarnegara. Gambaran daerah dan antardaerah sangatlah minim.

Selain itu, metode/teknik analisis dan juga kajian-kajian atas berbagai aspek terkait dengan TIK perlu dikembangkan. Fenomena “konvergensi”, open system, dan lainnya adalah di antara isu seperti ini. Tim PTIK-BPPT telah memulainya, namun memang harus diakui ini masih jauh dari sempurna. Beberapa hasil dapat dilihat pada situs mirror di http://www.tikometer.or.id.
Kedua, bagaimana agar pengembangan dan pendayagunaan TIK lebih efektif dan efisien dalam pembangunan [termasuk pembangunan daerah]. Ya, sebagian sering menggunakan istilah ICT4D, sebagian E-Development atau istilah lain, yang esensinya sebenarnya sama. Langkah ini sudah mulai dilakukan oleh banyak pihak di Indonesia, namun dalam implementasi yang umumnya “parsial” dan bekerja sendiri-sendiri. Jika ingin ,
Ketiga, banyak bidang-bidang spesifik TIK yang membutuhkan pemahaman dan antipasi yang perlu disiapkan sedini mungkin di Indonesia. Untuk topik emerging ICT tertentu ini, beberapa contoh bidang yang menurut saya sangat penting untuk dipersiapkan antara lain adalah yang menyangkut TIK untuk mendukung penerbangan sipil [CNS/ATM], bidang “keamanan, pertahanan dan tentunya kedaulatan negara” [C4I, C4ISR atau ada yang menyebutnya C4ISTAR], dan ICT forensic.
Jadi, dalam ketiga hal yang saya sebutkan itulah kita perlu mendorong litbangyasa TIK kontemporer. Ini bukan berarti bahwa “topik” yang saya angkat sekedar agenda litbangyasa atau teknologi, tetapi juga industri dan kebijakan, serta aspek lainnya. Ini juga perlu saya tekankan karena pendekatan “sekuensial-linier” technology push dalam hal ini perlu dihindari. Karena itu, banyak pihak yang harus bersinergi. Hanya dengan cara itulah kita bisa memajukannya dan mendapatkan kemanfaatannya bagi Indonesia.

Semoga bermanfaat.

Salam

Baca Selanjutnya...

Minggu, Desember 07, 2008

Selamat Iedul Adha 1429H

Mengucapkan Selamat Iedul Adha 1429H.
Mohon maaf lahir dan bathin.
Semoga Allah swt, mengampuni semua kesalahan dan dosa kita, dan menerima amal-ibadah kita. Amien . . .
Salam

Baca Selanjutnya...

Jumat, Desember 05, 2008

Blogger Juga Manusia . . .

Saya belum berani meng-klaim sebagai seorang blogger “beneran”. Bahkan sebagai blogger pemula pun mungkin belum. Lama nge-blog saja belum seumur jagung, dan itu pun belajar sendiri. Jadi, maklum lah kalau desain, posting dan pasang widget-nya pun masih “nunak-nunuk” dan sering fail again – fail again [gagal maning, gagal maning].
Saya ingin sedikit berbagi tentang “pengamatan” saya – yang tentu ini bukan “penelitian ilmiah” – tentang “fenomena blogger”.

Kehidupan “dunia internet”, khususnya web blog, bagi saya merupakan refleksi “dunia nyata”. Hubungan sosial berkembang di antara para blogger serupa dengan hubungan sosial keseharian yang kita lihat di masyarakat sekitar. Para blogger berekspresi dalam bidang dan cara masing-masing. Sekalipun melalui “media” yang berbeda, kita berkomunikasi satu dengan lainnya layaknya kita “berhadapan langsung” dengan orang-orang lain.

Saya merasa – entah benar atau salah pengamatan saya ini - “keterkaitan sosial” (social connectedness) di antara para blogger berkembang sangat cepat. Bayangkan, saya yang seorang “pemalu” [hi hi . . . ], bisa berkawan dengan lebih banyak orang dibanding dengan keseharian yang sebenarnya [tentu tidak sebanyak para blogger betulan].

Kok bisa ya?
Hmm . . ., saya menduga trust (rasa saling percaya), harapan, dan “saling-membalas/timbal-balik” (reciprocity) sebagai nilai mendasar yang penting dalam hubungan sosial yang baik memang “ada” di antara para blogger, sekalipun mereka tidak/belum pernah bertemu satu dengan lainnya, bahkan mungkin dalam banyak kasus tidak/belum saling mengenal sebelumnya. Ini tentu sangat penting bagi "kohesi sosial," yang juga menentukan keberhasilan pembangunan masyarakat. Kohesi sosial (social cohesion) - atau "keeratan sosial" -merupakan keadaan [sekaligus juga proses perkembangan] yang mencerminkan nilai bersama, tantangan dan kesempatan bersama dari komunitas.

Menurut Jenson, ada lima dimensi kohesi sosial [lihat misalnya dalam salah satu tulisannya berjudul Mapping Social Cohesion: The State of Canadian Research, 1998], yaitu :

  1. Belonging -- Isolation
  2. Inclusion -- Exclusion
  3. Participation -- Non-involvement
  4. Recognition -- Rejection
  5. Legitimacy -- Illegitimacy.

Sekedar pembanding, Bernard (1999) mencermati dimensi kohesi sosial dengan melihat pada dimensi formal dan substantif seperti berikut :
- Formal :

  1. Equality / Inequality
  2. Recognition / Rejection
  3. Legitimacy / Illegitimacy.

- Substantif :

  1. Inclusion / Exclusion
  2. Belonging / Isolation
  3. Participation / Non-involvement.

Dalam komunitas blogger yang saya "kunjungi" sampai saat ini, nampaknya - sadar ataupun tidak sadar – berkembang semangat, nilai, dan harapan positif yang “sama”. Rasa “menjadi bagian (belonging)” contohnya dicerminkan oleh bergabungnya blogger dalam komunitas-komunitas tertentu yang mereka anggap “sesuai/nyaman” buat dirinya. Inklusi, tercermin dari “diterimanya” blogger oleh blogger lainnya. Saya belum melihat “penolakan” dari komunitas, setidaknya saya belum pernah “ditolak” bergabung dalam komunitas yang saya ikuti [mudah-mudahan tidak terjadi . . .]. Rasa ingin berpartisipasi pada umumnya berkembang di antara blogger. Kita akan merasa belum nge-blog, jika apa yang kita posting tidak dibaca [atau setidaknya ditengok] oleh blogger lain atau pengguna internet lain. Ini mendorong blogger berupaya agar blog-nya dilirik dan dibaca orang lain, serta saling mendukung sesama blogger. Proses aktif dan responsif blogger terhadap sesama blogger lain mencerminkan hal ini.

“Pengakuan” (recognition) juga umumnya tinggi. “Etika” saling memberi komentar, saling mengunjungi atau setidaknya sekedar saling menyapa seolah sudah menjadi ”aturan sopan santun” yang umum di antara para blogger. Pengakuan dan dukungan dari blogger lainnya dan rasa kebersamaan yang berkembang pun menjadi “pelegitimasi” blogger dalam dunianya – meski tanpa ijazah formal bidang teknologi informasi dan komunikasi, ataupun secarik kertas legal formal.

Dari sisi positif, komunitas-komunitas blogger berkembang pesat dan jaringan ini terus meningkat, yang sangat berpotensi memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat kita dan di luar kita. Pencitraan lebih positif tentang Indonesia pun sangat berpeluang diperkuat oleh perkembangan ini, setidaknya semangat di antara para blogger tentang hal ini cukup kuat.

Apakah semuanya ”serba indah” seperti yang saya tuliskan? Kalau tentang ini, dalam masyarakat ”dunia nyata” pun kita menghadapi dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang faktanya. Kegundahan, apatisma, bahkan kesinisan atas tindakan pemerintah dalam hal tertentu, bisa pula kita jumpai di dunia blogger maupun dunia nyata, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Sebagian mungkin sekedar berkeluh-kesah tanpa tahu persis apa yang harus dilakukan. Jadi, tak ada yang istimewa – blogger pun manusia. Dengan dunia yang dirasakan ”lebih demokratis”, saya melihat betapa para blogger umumnya memiliki kreativitas tinggi dan merasakan keleluasaan berekspresi yang ”lebih tinggi” di dunia internet.

Tentu kita sangat berharap bahwa para ”blogger panutan” yang umumnya didukung oleh komunitas yang luas ”secara sukarela”, memiliki kepemimpinan dan keprakarsaan untuk dapat membawa komunitasnya dalam mengembangkan dan mendayagunakan hal-hal yang positif sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Semoga . . .

Wallahu alam bissawab . . . .

Salam

Baca Selanjutnya...

Sabtu, November 29, 2008

Kerangka Strategi E-Development Daerah

Catatan : untuk bahan-bahan rujukan, lihat dalam file pada taut di blog ini . . .

Sudah banyak program/kegiatan (atau “proyek”) teknologi informasi dan komunikasi/TIK atau yang berkaitan dengan ini diimplementasikan di daerah-daerah di Indonesia. Tetapi rasanya belum banyak daerah yang dapat dinilai “berhasil” membawa perubahan [baca: perbaikan] dalam pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
TIK memang diakui semakin penting bagi [dan dalam] pembangunan. Namun banyak tantangan yang harus dihadapi dan pertanyaan yang perlu dijawab. Kali ini, artikel singkat ini membahas secara singkat untuk menjawab pertanyaan berikut :

  1. Bagaimana agar PENGEMBANGAN dan PEMANFAATAN teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat efektif dalam pembangunan daerah?
  2. SIAPA yang harus terlibat?
  3. Bagaimana/dari mana MEMULAINYA?

Saya ingin memulainya dari pemikiran berikut. Menurut saya, PEMBANGUNAN esensinya adalah PEMBERDAYAAN yang harus membawa manusia/masyarakat [terutama kelompok miskin] agar :

  • semakin mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya,
  • lebih berdaya menolong dirinya sendiri,
  • semakin berperan dalam memperkuat kohesi sosial dalam tatanan masyarakat yang lebih baik,
  • semakin berdaya saing dalam tatanan masyarakat ekonomi yang lebih maju.

Nah, mari kita fokus pada pemberdayaan (empowerment). Setidaknya ada 3 pilar pemberdayaan, yaitu :

  • Pemungkinan (enabling) -- agar berkembang;
  • Penguatan (strengthening) -- agar kompeten/unggul;
  • Perlindungan (protecting) -- agar tidak tereksploitasi (semakin termarjinalkan).

Karena itu, mari kita berstrategi agar TIK dapat menjadi “alat pemberdaya” yang efektif.
Bila kita kaitkan dengan pertanyaan yang disampaikan sebelumnya, maka saya mengusulkan jawaban berikut :

  1. Agar PENGEMBANGAN dan PEMANFAATAN teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat efektif dalam pembangunan daerah -- maka pengembangan dan pemanfaatan TIK HARUS menjadi BAGIAN INTEGRAL dari pembangunan daerah.
  2. Yang harus terlibat -- tentunya SELURUH pelaku pembangunan : Pemerintah, dunia usaha, akademisi (termasuk litbangyasa), masyarakat, dan stakeholder lain.
  3. Bagaimana/dari mana MEMULAINYA? -- maka harus ada KERANGKA STRATEGI yang menjadi konsensus dan pijakan para pihak untuk bertindak secara koheren dan menghasilkan dampak sinergi positif.

Dalam kaitan inilah saya mengajukan suatu kerangka strategi E-Development. Apa itu? E-Development yang saya maksud pada dasarnya merupakan upaya menjadikan pembangunan (dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pembangunan daerah) agar lebih efektif, efisien dan memberdayakan, dengan pengembangan dan pendayagunaan TIK.
Jadi saya memaknai Kerangka Strategi E-Development sebagai :

  • suatu kerangka kerja (framework) yang bersifat umum/generik tentang bagaimana strategi pengembangan dan pendayagunaan TIK dalam siklus perencanaan, implementasi, pemantauan, evaluasi dan perbaikannya secara berkelanjutan agar menjadi bagian integral dari pembangunan daerah;
  • bahwa pembangunan daerah perlu semakin mendayagunakan TIK dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan daerah tersebut.

“Sederhananya”, gagasan Kerangka Strategi E-Development tersebut ditunjukkan oleh gambar berikut. Kalau ingin membaca lebih lanjut, silahkan lihat/unduh file-file terkait yang saya unggah di scribd dan/atau slideshare.


Semoga bermanfaat.
Salam

Baca Selanjutnya...

Minggu, November 23, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi : Meningkatkan Koherensi Kebijakan Inovasi

Diskusi ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya . . . .

Koherensi kebijakan inovasi pada dasarnya menyangkut keterpaduan dan harmonisasi, saling mengisi dan memperkuat terutama antarpola kebijakan ekonomi, industri dan teknologi, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan ”antara nasional/pusat dan daerah,” (termasuk konteks regional atau supranasional tertentu dan internasional) sehingga tidak berbenturan, bertolak belakang dan membingungkan. Kebijakan inovasi yang koheren akan menghasilkan dampak sinergi yang positif bagi perkembangan sistem inovasi, sehingga meningkatkan daya saing dan memperkuat kohesi sosial, yang akhirnya mendukung peningkatan kesejahteraan, kemandirian dan peradaban bangsa.
Upaya demikian tentu perlu dikembangkan bersama oleh berbagai pihak (pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingannya). Kini semakin disadari bahwa kebijakan inovasi bukanlah semata ranah intervensi bagi “Pemerintah Pusat/Nasional” saja tetapi juga “Pemerintah Daerah.” Selain itu, upaya bersama (kolaboratif) dalam mendorong koherensi kebijakan inovasi ini juga sangat penting mengingat kebijakan inovasi setidaknya terkait dengan tiga dimensi penting berikut:

  1. Dimensi ”penadbiran kebijakan” (policy governance) : bahwa kebijakan inovasi dapat ditentukan pada beragam tataran (lokal, daerah, nasional dan internasional), di mana koherensi dan komplementasi satu dengan lainnya sangatlah penting.
  2. Dimensi “sektoral” : bahwa terdapat beragam faktor yang akan memberikan pengaruh umum serupa walaupun dengan tingkat yang berbeda dan pengaruh yang mungkin bersifat spesifik sektor. Karenanya, respons kebijakan yang dikembangkan perlu mempertimbangkan hal ini.
  3. Interaksi dengan bidang kebijakan lainnya : bahwa kebijakan inovasi seringkali perlu diimplementasikan melalui kebijakan lainnya (selain ”kebijakan iptek”). Karenanya, konsepsi inovasi dan sistem inovasi perlu semakin ”lekat/terpadu” dalam beragam kebijakan terkait lainnya.
Sejatinya, koherensi kebijakan setidaknya menyangkut tiga dimensi, yaitu:
  1. Koherensi horisontal yang menentukan bahwa masing-masing kebijakan yang terkait atau kebijakan-kebijakan sektoral dikembangkan untuk saling mengisi dan/atau memperkuat atau meminimumkan ketidakkonsistenan (”inkonsistensi”) dalam tujuan yang (mungkin) saling bertentangan;
  2. Koherensi vertikal yang menentukan bahwa keluaran yang dicapai/diperoleh sesuai atau konsisten dengan yang dimaksudkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan;
  3. Koherensi temporal yang berkaitan dengan keadaan bahwa kebijakan yang diambil/ditetapkan saat ini akan tetap efektif di masa mendatang dengan membatasi potensi ”inkoherensi” dan dapat memberikan semacam panduan bagi perubahan (dan berkaitan dengan manajemen transisi).

Dalam rangka mendorong koherensi kebijakan inovasi, para pemangku kepentingan perlu secara bersama mengembangkan prakarsa yang lebih terkoordinasi dan terpadu dalam pengembangan sistem inovasi. Dalam konteks “hubungan” antara nasional/pusat dan daerah, dianjurkan peningkatan peran masing-masing pihak yang antara lain adalah sebagai berikut.
Saya kira ada baiknya kita banyak belajar dari negara lain dalam hal ini. Sekedar contoh, saran Lundvall dan Borras [dalam tulisan mereka tahun1997 : The Globalising Learning Economy: Implications for Innovation Policy. Report based on contributions from seven projects under the TSER programme. DG XII, Commission of the European Union. European Commission. Targeted Socio-Economic Research. December 1997] dalam penelitiannya berkaitan dengan konteks perkembangan sistem inovasi di Uni Eropa dan dalam rangka memberikan advis kebijakan inovasi kepada para penentu kebijakan. Mereka misalnya mengungkapkan bahwa ketika merancang kebijakan inovasi, para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan tiga tindakan utama berikut:

  1. Kebijakan yang mempengaruhi tekanan untuk berubah (misalnya kebijakan persaingan, kebijakan perdagangan dan posisi kebijakan ekonomi secara umum);
  2. Kebijakan yang mempengaruhi kemampuan berinovasi dan menyerap perubahan (misalnya pengembangan sumber daya manusia/SDM);
  3. Kebijakan yang dirancang untuk melindungi kelompok-kelompok yang “dirugikan” oleh perubahan (misalnya kebijakan sosial dan daerah yang bertujuan pada redistribusi).

Bidang kebijakan tersebut perlu disesuaikan dan dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan kohesi sosial. Selain itu, koordinasi vertikal juga sangatlah penting karena kesejalanan kebijakan (policy alignment) pada berbagai tataran pemerintahan yang berbeda akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi kebijakan.

Wallahu alam bissawab . . . .

Baca Selanjutnya...

Sabtu, November 22, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi : Isu 4

Melanjutkan tulisan sebelumnya dan seperti pernah saya singgung dalam tulisan beberapa waktu lalu, isu strategis keempat yang perlu dicermati dalam pengembangan sistem inovasi di Indonesia adalah fragmentasi kebijakan di berbagai ”bidang.” Ini terutama dicirikan oleh persoalan-persoalan ”klasik” kebijakan yang masih dihadapi seperti:

  • Fragmentasi kebijakan “sektoral”;
  • Dikotomi “Pusat/Nasional” – “Daerah”;
  • Tumpang-tindih dan inkonsistensi kebijakan antar “bidang/aspek”.

Selain itu, dalam perjalanan negara yang kita lalui, kita juga dihadapkan pada tantangan-tantangan seperti:

  • Perkembangan sistem pemerintahan [yang karena proses penyesuaiannya masih lambat maka menimbulkan beberapa benturan kebijakan];
  • Kebutuhan proses pembelajaran kebijakan yang lebih baik;
  • Kebutuhan respons kebijakan yang cepat, tepat, dan terkoordinasi atas dinamika perubahan dan tantangan.

Akibatnya, salah satu persyaratan penting berkembangnya kebijakan inovasi yang baik belum dapat dipenuhi, yaitu koherensi kebijakan. Memang persoalan inkoherensi kebijakan tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara lain, termasuk yang kini dinilai berhasil dalam pengembangan sistem inovasi di negaranya.

Beberapa strategi mereka kembangkan dalam mengatasi isu kebijakan strategis ini. Bagaimana dengan Indonesia? Punya gagasan? Silahkan sampaikan gagasan Anda atau tinggalkan komentar Anda tentang ini.

Salam

Baca Selanjutnya...

Selasa, November 18, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi : Kepemimpinan

Menyambung diskusi terdahulu, saya ingin tekankan bahwa strategi utama ketiga yang tak boleh didiabaikan adalah mengembangkan kepemimpinan (leadership) dan memperkuat komitmen nasional dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi nasional dan daerah.

Pengembangan/penguatan sistem inovasi nasional maupun daerah dapat dirumuskan, diperbaiki dan terlebih penting lagi diimplementasikan secara kongkrit hanya jika didukung oleh kepemimpinan yang tepat dan memiliki komitmen kuat. Kejelasan dan ketegasan kepemimpinan yang visioner sebagai “keputusan politik” ini penting terutama menyangkut pemahaman dan komitmen/kesungguhan serta konsistensi implementasi bahwa kesejahteraan rakyat yang semakin tinggi dan adil hanya dapat diwujudkan melalui agenda peningkatan daya saing dan penguatan kohesi sosial. Dalam konteks inilah pengembangan atau penguatan sistem inovasi harus menjadi agenda prioritas. Kepemimpinan juga akan sangat berkaitan dengan penetapan, pemaknaan dan implikasi visi yang jelas berkaitan dengan pengembangan/penguatan sistem inovasi.

Peningkatan daya saing umumnya dan pengembangan/penguatan sistem inovasi perlu menjadi agenda strategis pada tataran nasional maupun daerah dan menjadi suatu kesatuan agenda, tetapi bukanlah sekedar agenda satu instansi semata. Agenda tersebut harus dilakukan pada keseluruhan kelembagaan di tingkat nasional maupun daerah (bukan kerangka satu lembaga saja), dan potensi kolaborasi sinergis dengan pihak lain sesuai potensi terbaik. Untuk maksud tersebut, cakupan bidang kebijakan juga sebaiknya berfokus pada ”pemajuan pengetahuan/teknologi, inovasi dan daya saing serta kohesi sosial” bukan sekedar bidang iptek. Sementara itu, cakupan bidang isu sebaiknya berfokus pada tantangan di depan untuk pemajuan secara nasional dan tingkat daerah, bukan sekedar persoalan yang dihadapi di masa lalu.

Pola penadbiran inovasi (innovation governance) di negara lain dapat menjadi contoh dan memberi pelajaran bagaimana upaya perbaikan dipraktikkan di tingkat nasional ataupun daerah. Namun perlu dipahami bahwa penadbiran pada dasarnya lebih bersifat path dependent sehingga praktik baiknya tidak dapat ditiru begitu saja. Upaya untuk mengembangkan keterpaduan sains dan inovasi serta isu ”sektoral” lain yang lebih baik perlu terus dikembangkan. Tentu harus dipahami pula bahwa bagaimana pun bentuknya, pola tersebut akan memberikan dampak nyata hanya jika pembuat kebijakan memiliki kehendak untuk mendengarkan. Kepemimpinan dan kepeloporan untuk melakukan perbaikan merupakan kunci bagi berkembangnya proses pembelajaran dalam kebijakan dan penadbiran inovasi.

Para pihak juga perlu menyadari bahwa dalam upaya perbaikan, persoalan yang seringkali muncul adalah ”inersia” kelembagaan terhadap perubahan, betapapun hal itu akan membawa kepada perbaikan. Hal demikian biasanya tidak cukup dipecahkan hanya dengan mengubah prosedur adminsitratif. Peninjauan sistematis dan proses pembelajaran, walaupun seringkali melelahkan, perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan secara kontekstual lanskap organisasi dan pengorganisasian dalam sistem inovasi.

Upaya perbaikan penadbiran kebijakan inovasi dengan kerangka komprehensif memerlukan kekuatan komitmen, kepemimpinan dan pengambilan keputusan pada ”tingkat tinggi” dengan mekanisme yang efektif (lembaga, pola koordinasi, dan/atau pola lain). Kebijakan untuk memperbaiki berbagai kekurangan/kelemahan (termasuk misalnya upaya/proses penggalian dan pengembangan/penguatan simpul dan keterkaitan yang lemah), membutuhkan koordinasi yang baik antara berbagai organisasi pemerintah dan juga pada tingkat interaksi antarperusahaan. Perbaikan koordinasi harus dilakukan melalui keterbukaan, komunikasi dan proses pembelajaran di antara para pembuat kebijakan maupun para pemangku kepentingan.

Apa yang saya utarakan ini juga sekaligus tantangan. Jika ditanya dari mana harus dimulai, mungkin sebagian besar dari kitapun akan menjawab harus dari “pemimpinnya” (baca = orang lain). Pada umumnya kita lebih pandai menuntut perbaikan dan “menimpakan” tanggung jawab perbaikan tersebut kepada orang lain. Ketika suatu daerah atau organisasi hendak melakukan perubahan/perbaikan, umumnya akan bertanya “tunggu dulu petunjuk dari Pusat”, atau “sudah adakah daerah/organisasi lain yang berhasil melakukannya sehingga kita akan mengikutinya”, dst., dst . . . Jika menghendaki perubahan/perbaikan, betapa jarang kita berani menyatakan kita mulai dari diri sendiri. Barangkali wajar saja, karena sebagian besar orang pun akan demikian.

Barangkali itulah yang kelak akan membedakan. Ke depan, daerah yang berhasil adalah daerah yang senantiasa berkreasi-berinovasi (innovating region); organisasi/lembaga yang berhasil adalah organisasi/lembaga yang tak pernah berhenti berkreasi-berinovasi (innovating organizations); tokoh/pemimpin yang berhasil adalah mereka yang tak pernah berhenti bersyukur dan berani memulai/mempelopori mengembangkan dirinya agar semakin bermanfaat bagi orang lain, mengajak dan menggerakkan orang lain untuk berkreasi-berinovasi [walaupun berisiko menjadi tidak populer], serta konsisten mendukung perbaikan lingkungan dan budaya sekitarnya . . . They are the real leaders, will you be???

Wallahu alam bissawab . . .

Baca Selanjutnya...

Senin, November 17, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi : Isu 3

Lanjutan diskusi tentang pengembangan sistem inovasi dari posting sebelumnya . . .


Mudah-mudahan masih ingat tulisan sebelumnya bahwa isu strategis ketiga dalam pengembangan sistem inovasi di Indonesia adalah "rendahnya kepeloporan untuk melakukan perbaikan dalam jangka panjang."

Kreativitas dan inovasi hanya berkembang dalam iklim (lingkungan) dan budaya yang mendukung yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Kreativitas dan inovasi lebih berpeluang berkembang di ligkungan yang yang mendorong kemajuan intelektualitas dan lebih mudah menerima hal yang baru, dan budaya yang terbuka terhadap perbaikan-perbaikan dalam tata kehidupan bermasyarakat ketimbang di lingkungan dan budaya yang sebaliknya.

Namun, keadaan yang baik demikian tak terbentuk dengan sendirinya. Ini merupakan hasil dari proses. Mengubah lingkungan, dan membawa kepada kondisi masyarakat yang lebih menerima hal-hal baru serta budaya yang lebih mendukung perkembangan kreativitas-keinovasian pun tak dapat dilakukan serta merta, tetapi perlu “kekuatan perubahan.”

Perubahan kepada kondisi demikian memerlukan kepeloporan dan kepemimpinan (formal maupun non formal) yang visioner dan transformasional dengan komitmen tinggi untuk melakukan perubahan dalam perspektif jangka panjang.

Sekedar contoh. Silahkan tengok sekitar Anda, berapa banyak (atau adakah) petinggi di pemerintah pusat atau pemerintah daerah atau politisi misalnya yang berani dan memiliki kesungguhan melakukan perubahan cara kerja sektoral yang terfragmentasi serta memiliki stamina dan keistiqomahan untuk melakukannya dalam proses yang panjang? Berpikir dan bekerja dalam “kotak-kotak sektor masing-masing” mungkin memang akan lebih terasa “nyaman dan aman” karena kita membangun sekat perlindungan agar tidak “diganggu” pihak lain atau “mencampuri” urusan orang lain. Tetapi, sistem inovasi yang baik tak akan pernah terbangun/kuat dengan cara demikian . . .

Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Rabu, November 05, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi: Kerangka Kebijakan Inovasi


Ini adalah opini sebagai kelanjutan diskusi-diskusi sebelumnya . . .

Jika kita belajar dari beberapa negara tentang apa yang mereka lakukan untuk mendukung pengembangan/penguatan sistem inovasi, dapat kita simpulkan bahwa selalu ada proses tahapan dari periode (waktu) ke periode berikut dan reformasi kebijakan inovasi selalu dilakukan sejalan dengan dinamika yang berkembang. Perbaikan kebijakan dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Jadi sebenarnya “proses dan produk kebijakan inovasi yang baik pada dasarnya merupakan proses dan produk pembelajaran”.

Dalam mengatasi persoalan sistemik, diperlukan “kerangka kebijakan” yang tepat, terpadu dan koheren. Karena itu, untuk mendorong pengembangan/penguatan sistem inovasi di Indonesia pun diperlukan kerangka kebijakan inovasi (innovation policy framework) yang kontekstual, terpadu dan koheren. Harus diakui bahwa sistem inovasi di Indonesia (baik pada tataran nasional maupun daerah) masih sangat lemah. Alangkah naifnya jika kita beranggapan bahwa persoalan-persoalan sistemik yang menjadi isu-isu kebijakan yang dapat diatasi hanya dengan solusi tambal-sulam.

Tantangannya adalah dapatkah suatu rejim pemerintahan di Indonesia (pada tataran nasional maupun daerah) merumuskan konsep dan menyepakati (mencapai konsensus atas) kerangka kebijakan inovasi (innovation policy framework)
  • yang menjadi acuan bersama,
  • diterjemahkan ke dalam tindakan dengan sasaran yang jelas dan terukur,
    secara konsisten diimplementasikan,
  • dipantau dan dievaluasi, serta
  • diperbaiki secara terus-menerus.

Dalam artikel sebelumnya saya menyebutkan 6 (enam) KELOMPOK isu kebijakan inovasi yang harus diatasi oleh Indonesia hingga saat ini. “Daftar” isu kebijakan ini pernah saya muat dalam buku saya dan sepengetahuan saya belum ada perbaikan sistemik yang signifikan atas isu-isu kebijakan inovasi tersebut sejak 2005 hingga sekarang ini. Karena itu, saya masih berkesimpulan bahwa isu-isu kebijakan inovasi tersebut tetap masih sangat relevan dan harus diatasi.

Apa saja kelompok kebijakan inovasi yang sangat penting dibenahi ke depan? Saya kira setidaknya ada 6 (enam) yang kesemuanya membentuk suatu kerangka kebijakan inovasi di Indonesia dalam periode 5 (lima) tahun ke depan, yaitu:

  1. Mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi inovasi dan bisnis.
  2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang dan mengembangkan kemampuan absorpsi UKM.
  3. Menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi, praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbang.
  4. Mendorong budaya inovasi.
  5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri nasional dan daerah.
  6. Penyelarasan dengan perkembangan global.

Dalam setiap kelompok isu kebijakan inovasi yang saya sebutkan sebelumnya, ada sederet isu-isu kebijakan lebih rinci, baik yang bersifat universal berlaku pada tataran nasional maupun yang bersifat “spesifik kasus (misalnya pada tataran daerah dan/atau sektoral-industrial). Pengelompokan isu kebijakan inovasi tersebut lebih dimaksudkan untuk “memudahkan” kita mencermati persoalan sistemik dan merancang kerangka kebijakan inovasi yang terpadu dan koheren.

Andai saja kita dapat melakukan reformasi kebijakan secara serentak pada keenam isu kebijakan tersebut dan instrumen-instrumen kebijakan dalam setiap kelompok kebijakannya diimplementasikan secara bertahap dari waktu ke waktu, maka kita berharap bahwa perbaikan dapat menghasilkan perubahan sistemik yang signifikan dan sistem inovasi di Indonesia dapat mencapai tahap kemajuan tertentu dalam 5 tahun ke depan.

Itu memang bukan agenda yang mudah diwujudkan Tetapi, mudah-mudahan dengan cara demikian keinginan kita untuk meningkatkan daya saing dan kohesi sosial dapat dicapai lebih efektif, sebagai tumpuan penting dalam mewujudkan kesejahteraan yang semakin tinggi dan semakin adil, kemandirian yang semakin kokoh, peradaban bangsa yang semakin berkembang dan maju, serta kedaulatan NKRI yang tetap utuh dan dihormati.

Wallahu alam bissawab . . .


Baca Selanjutnya...

Sabtu, Oktober 25, 2008

IT Governance dan Pembangunan Daerah

Mewujudkan good IT governance (“penadbiran/tata kelola teknologi informasi yang baik”) tidaklah mudah. Tantangan yang umumnya muncul sejak ujung awal perancangan hingga ujung akhir evaluasi (dan perbaikan), acapkali diperkaya dengan dimensi konteks dunia nyatanya.

Dalam pembangunan daerah, upaya mendayagunakan teknologi informasi tentu juga tidak boleh mengabaikan good IT governance ini. Bagaimana caranya? Kerangka strategi e-development ditawarkan sebagai suatu pendekatan untuk maksud ini.

Walaupun saat ini masih terlampau dini untuk disimpulkan dan belum dapat memberikan bukti (evidence) akademis keterujiannya, pengalaman praktis yang dilakukan oleh dua daerah, yaitu Kabupaten Jembrana dan Kota Pekalongan, memberikan optimisme bahwa kerangka strategi e-development dapat menjadi pijakan pragmatis dalam mendukung IT governance dan pembangunan daerah yang baik.

Tulisan ringkas tentang ini saya simpan di folder yang ini.

Semoga bermanfaat.
Salam

Baca Selanjutnya...

Rabu, Oktober 22, 2008

Dari Workshop Penyusunan Naskah Akademis RPJMN 2010-2014

Tadi pagi, Rabu, 22 Oktober, Bappenas menyelenggarakan worksop Penyusunan Naskah Akademis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 210-2014, bidang industri, iptek dan BUMN. Acara dibuka Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, Dr. Slamet Seno Adji, MA, lalu diisi dengan paparan Dr. Mesdin Simarmata (Direktur Iptek, Industri dan BUMN – Bappenas), dibahas oleh Prof. Dr. Lukman Hakim (Wakil Kepala LIPI), dan dimoderatori oleh Ir. Dudi Hidayat, MSc. (peneliti PAPIPTEK-LIPI). Saya harus minta maaf, dengan alasan klasik ada kesibukan lain terpaksa datang agak terlambat.

Saya mencatat beberapa hal menarik dari acara tersebut di sini. Pertama, walaupun baru merupakan usulan, nampaknya dari peserta diskusi tidak ada keberatan tentang tema utama yang hendak diangkat, yaitu “penguatan sistem inovasi” (maaf jika tidak persis, tetapi kurang lebih demikian). Ini juga sejalan dengan rangkaian berwacana di beberapa kelompok, bahasan yang diangkat dalam Rakornas Ristek 2008, dan rangkaian diskusi yang diselenggarakan oleh KNRT sejauh ini.

Kedua, semangat Bappenas untuk semakin “terbuka” kepada publik patut kita apresiasi. Kata banyak pakar, proses kebijakan yang baik adalah yang “partisipatif.” Jadi, dengan keterbukaan ini, mudah-mudahan ini merupakan tahapan baik untuk menghasilkan kualitas draf yang semakin baik pula. Untuk mengetahui lebih detail materi yang dibahas, bisa bergabung di Forum Diskusi Sistem Inovasi dan melihat di sana. Silahkan sampaikan suara Anda. Saran dan kritik yang membangun sangat dinanti untuk perbaikan negeri ini ke depan.

Yang ketiga, terlepas dari belum adanya ”ketegasan” tentang isu kebijakan (policy issues) dan kerangka kebijakan (policy framework) untuk mengatasinya yang akan dituangkan dalam naskah akademis tersebut, semangat yang muncul dari forum akan adanya perbaikan kebijakan (policy reform) sangat kental. Tentunya ini sangat penting. Jika tidak, usulan kebijakan (dan program) akan berisiko menjadi ”kebijakan kosmetik” semata. Pantaskah kita berharap terjadi perubahan signifikan di Indonesia jika ikhtiar kita pun sekedar seperti itu?

Hal terakhir yang ingin saya sampaikan di sini, saya juga mencatat dan setuju tentang salah satu yang diangkat oleh pak Lukman, tentang perlunya leadership (kepemimpinan) dalam membawa perubahan kebijakan (policy reform) dalam konteks yang dibahas. Mengapa penting? Membawa perbaikan sistem inovasi (baca: merumuskan dan menjalankan kebijakan inovasi), tidak sekedar perlu orang (komunitas) yang punya pengetahuan tentang ini, tetapi keberanian membawa perubahan mindset para aktor sistem inovasi.

Ini tentu bukan perkara gampang. Butuh ”keberanian, kesungguhan, dan konsistensi” membongkar sekat-sekat berpikir dan bekerja sektoral, kebijakan dan tindakan yang telah terbiasa terfragmentasi, kebiasaan bekerja sendiri-sendiri yang telah mentradisi dan membelenggu tak saja di lingkungan birokrasi, tetapi juga para peneliti dan pelaku bisnis. Belum lagi tantangan bagi penentu kebijakan yang ”nekad” melakukan perubahan demikian akan menghadapi arus utama kebijakan pembangunan dan memiliki risiko ”tak populer.”

Saya sempat agak khawatir wacana tentang leadership ini akan menjadi ambigu, kalau setiap orang hanya berharap akan ”ujug-ujug” muncul seorang pemimpin yang diidealkan. Yang saya bayangkan, leadership ataupun kepioniran dalam konteks yang dibahas harus ditumbuhkan di setiap kalangan, termasuk para pemimpin kekuatan politik yang akan berlomba di tahun 2009 untuk membangun negeri. Mari kita nilai dan kita pilih, siapa yang memiliki good political will dalam hal ini . . .

Kekhawatiran itu agak sirna, ketika workshop ditutup dan peserta diperbolehkan memenuhi kebutuhan mendasarnya bersantap siang. Ternyata ”mekanisme pasar” bekerja hampir sempurna. Supply hidangan makan siang diserbu demand peserta. Sinyal respon positif pasar terlihat dari wajah-wajah setelah santap siang, dan ketawa-ketiwi pelaku pasar sambil saling berpamitan . . .

Salam

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Oktober 18, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi: Isu 2 (lanjutan)

Menyambung tulisan sebelumnya, untuk kasus Indonesia, saya kira kita juga perlu mencermati isu khusus/spesifik yang memang karena kondisi alamiah dan historis Indonesia menuntut perhatian khusus dalam pengembangan/ penguatan sistem inovasi.

Menyadari kondisi alamiah Indonesia dan belajar dari pengalaman masa lalu, maka kemampuan dalam mengatasi bahaya bencana, baik yang bersumber pada kondisi alamiah maupun karena pengaruh aktivitas manusia juga merupakan faktor penting yang perlu dikembangkan oleh Indonesia. Kelemahan kemampuan iptek secara nasional sejauh ini merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dan perlu ditanggulangi melalui pengembangan sistem inovasi.

Tengok saja berbagai pengalaman kemampuan kita dalam manajemen bencana (dan kemampuan teknologi), apakah menyangkut gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran, termasuk kebakaran [pembakaran?] hutan, dan lain sebagainya.

Selain itu, sistem pertahanan dan keamanan negara yang secara relatif menurun sangat dipengaruhi oleh ketergantungan yang sangat besar pada kekuatan negara maju, kelemahan daya dukung iptek dan kemampuan industri dalam negeri dalam mendukung sistem pertahanan dan keamanan negara. Kondisi demikian yang berlarut menjadi ancaman yang semakin serius bagi kedaulatan negara dan keutuhan NKRI. Bahkan kemampuan teknologi informasi dan komunikasi terkait dengan sistem penerbangan sipil [CNS/ATM ~ Communication, Navigation, Surveillance/Air Traffic Management] tidak saja dapat mengganggu keselamatan, keamanan dan efisiensi dalam manajemen pernerbangan sipil kita tetapi juga dapat "menggerogoti" keutuhan kedaulatan NKRI.

Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Pengembangan Sistem Inovasi: Isu 2

Dalam artikel sebelumnya, saya sampaikan bahwa isu kedua dalam pengembangan sistem inovasi di indonesia adalah "Persoalan/isu pokok yang perlu dipecahkan agar sistem inovasi berkembang dan kemajuannya dapat dipercepat." Berikut ulasan tentang hal ini.

Cara pandang sistem inovasi membantu kita memahami bagaimana sistem berkembang dan persoalan prioritas apa yang perlu diatasi. Di sinilah kita mencermati persoalan atau isu-isu kebijakan. Artinya kita perlu menelaah persoalan penting apa yang tidak mungkin ”terselesaikan dengan sendirinya.” Pada intinya, argumen ”kegagalan sistemik(systemic failures) dapat berbagai sumber, seperti:

  • Kegagalan pemerintah (government failures).
  • Kegagalan pasar (market failures).
  • Kegagalan sistem yang lain karena tidak adanya elemen sistem yang penting, atau tidak berfungsinya elemen sistem dan/atau tidak berkembangnya interaksi dalam sistem dengan baik.

Bentuk persoalannya dapat beragam (seperti pernah dibahas dalam buku atau makalah-makalah saya yang terkait dengan ini. Kita juga dapat mempelajari telaahan para pakar berkaitan dengan ini, yang antara lain saya cantumkan dalam daftar pustaka pada tulisan-tulisan saya tersebut).

Jika dicermati, tentu akan dapat ditulis sederet persoalan yang dihadapi oleh Indonesia (pada tataran nasional, daerah ataupun industrial/sektoral). Saya mencoba menghimpunnya dalam bentuk isu-isu generik.

Pada dasarnya, sistem inovasi dipengaruhi oleh kondisi umum yang membentuknya (baik yang bersifat alamiah maupun karena lingkungan kebijakan yang mempengaruhi). Sistem inovasi juga dipengaruhi oleh basis sistem ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek, termasuk penelitian, pengembangan dan rekayasa atau litbangyasa) dan sistem produksi dalam perekonomian, beserta interaksi yang terjadi di dalamnya dan di antaranya. Sistem inovasi pada tataran nasional ataupun daerah sangat ditentukan oleh perkembangan sosio kultural yang berkembang dalam masyarakatnya. Kita pun belajar bahwa keberhasilan negara atau daerah, “dibawa/ditentukan” oleh leadership (termasuk political will), kesungguhan, dan komitmen para pelaku sistem (pelaku bisnis, penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan lain) dalam menggali, mengembangkan dan memanfaatkan potensi terbaik yang dimiliki. Yang juga sangat penting adalah bahwa sistem inovasi tentu saja tak terlepas dari pengaruh perkembangan global (artinya, pengaruh dinamika perubahan, yang bersifat lokal hingga internasional).

Karena itu, menurut hemat saya, sistem inovasi di Indonesia setidaknya menghadapi isu kebijakan inovasi (persoalan sistemik) yang saya kelompokkan dalam 6 isu kebijakan, yaitu (penjelasan lebih detail dapat dilihat dalam buku atau tulisan saya yang terkait):

  1. Kelemahan kerangka/kondisi umum yang mempengaruhi sistem inovasi.
  2. Kelemahan kelembagaan dan daya dukung iptek serta rendahnya kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM).
  3. Kelemahan dalam keterkaitan, interaksi dan kerjasama difusi inovasi. Dalam hal ini termasuk difusi praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbang.
  4. Persoalan budaya inovasi.
  5. Kelemahan dalam fokus, rantai nilai, kompetensi dan sumber pembaruan ekonomi dan sosial.
  6. Tantangan global.

Jadi menurut saya, persoalan yang telah disebutkan merupakan enam persoalan sistemik (isu kebijakan inovasi) yang bersifat generik yang saat ini dihadapi oleh kita, baik pada tataran daerah secara umum, industrial/sektoral ataupun nasional.

Kalau saja kita mampu mengatasi/memecahkan keenam isu kebijakan inovasi tersebut secara serentak dan bertahap dalam periode lima tahun pembangunan ke depan, maka insya Allah, ini akan membawa kita kepada kondisi sistem inovasi Indonesia yang memiliki fondasi yang cukup kuat untuk berkembang ke tahapan berikutnya.

Saya katakan perlu dipecahkan serentak, karena persoalan sistemik kebijakan inovasi tersebut tidak bisa lagi hanya sekedar dilakukan secara parsial, terfragmentasi. Saya katakan bertahap, karena tentu saja kita tidak mungkin kita mengatasi kompleksitas isu kebijakan tersebut dengan serta-merta atau sesaat. Sistem inovasi perlu berproses dan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri (beradaptasi), mengembangkan kapasitasnya dan kultur yang semakin baik.

Pelajaran yang dapat kita petik antara lain adalah bahwa untuk dapat mengembangkan/memperkuat sistem inovasi, kita perlu melakukannya secara sistemik dan sistematik. Alangkah naifnya jika kita selalu (atau masih) beranggapan bahwa hal demikian bisa dilakukan hanya oleh satu departemen/kementerian atau lembaga saja.

Wallahu alam bissawab . . .

Bersambung.

Baca Selanjutnya...

Kamis, Oktober 16, 2008

Sosialisasi Sistem Inovasi di Televisi dan Radio

Salah satu pembicaraan yang sering disampaikan dalam kesempatan diskusi adalah bahwa ragam hal seputar sistem inovasi belum banyak diketahui oleh para penentu kebijakan dan belum tersampaikan kepada masyarakat secara luas.

Saya kira sudah saatnya kita mulai memperkenalkannya melalui beragam media, termasuk media elektronik. Selain melalui blog, situs resmi, forum-forum diskusi, saya ingin mengusulkan juga melalui televisi dan radio. Mungkin ini bisa diawali dengan memanfaatkan acara "Iptek Voice" (radio) dan "Iptek Talk" (TV) yang dikelola oleh KNRT.

What do you think?

Baca Selanjutnya...

Kamis, Oktober 09, 2008

Berduka Cita Atas Berpulangnya Mas Didit Yudhistira . . .

Innalillahi wa ina ilaihi rojiun . . .

Telah berpulang ke Rahmatullah sahabat kita, mas Didit Yudhistira, 8 Oktober 2008 di Jakarta.

Almarhum bekerja di BPPT dan KNRT.

Semoga Allah swt mengampuni segala dosanya, menerima amal ibadahnya dan memberikan tempat yang sangat baik, serta semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan iman.

Kepada rekan, handai taulan, kolega . . . mohon memaafkan kesalahan almarhum.

Selamat jalan mas Didit . . .

Baca Selanjutnya...

Berduka Cita Atas Berpulangnya Mas Agus Wahyudi . . .

Turut berduka cita atas meninggalnya sahabat kita, Agus Wahyudi, M.Kom., pada tanggal 8 Oktober 2008 di Semarang.

Almarhum adalah Ketua STMIK Widya Pratama - Pekalongan.

Semoga allmarhum diterima di sisiNya dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.
Kepada rekan, handai taulan, kolega . . . mohon memaafkan kesalahan almarhum.

Selamat jalan mas Agus Wahyudi . . . . .

Baca Selanjutnya...

Minggu, Oktober 05, 2008

Rencana Diskusi Sistem Inovasi di KNRT dan BPPT

Ristek atau Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) tengah menggalang berbagai pihak (termasuk BPPt dan LIPI) mengupas sistem inovasi di Indonesia dan menghimpun saran/masukan tentang apa yang sebaiknya diperkuat ke depan.

Komunitas diskusi sangat perlu dikembangkan, dan akan terdiri dari beragam latar belakang pandangan, kepakaran,maupun tingkat pemahaman yang berbeda. Agar menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bahan-bahan/dokumen yang lebih “terstruktur” dan bermanfaat bagi penentu kebijakan, maka “muara akhir” perlu lebih terfokus.

Dalam dikusi-diskusi sebelumnya, disepakati bahwa muara tersebut berupa “dokumen” di akhir 2008 yang pada intinya diharapkan bermuatan:

  • Pandangan tentang [pendekatan] sistem inovasi dalam konteks pembangunan Indonesia;

  • Gambaran tentang sistem inovasi di Indonesia dan isu-isu strategisnya;

  • Agenda perbaikan kebijakan ke depan.


Proses Awal
Sehubungan dengan itu, sebagai titik awal diskusi sistem inovasi di Bulan Oktober ini, saya mengusulkan dua agenda paralel, yaitu:

  • Pertukaran informasi, dan pengalaman / pengetahuan di antara partisipan; dan

  • Pemetaan sistem inovasi nasional saat ini.

Untuk tim penyusun dokumen yang akan dihasilkan, silahkan saja dibentuk. Saya mengharapkan komunitas diskusi terus berkembang, dan karenanya siapapun diperbolehkan bergabung, offline maupun online. Jika ada yang memerlukan diskusi awal untuk mengenali / memahami tentang topik ini, silahkan memanfaatkan sumber daya yang ada (hardcopy, softcopy di beberapa lokasi yang saya tunjukkan berikut, maupun kontak dengan berbagai orang). Kalau diperlukan workhop kecil dengan peserta terbatas, rekan-rekan dapat mengatur waktunya. Saya kira cukup banyak yang bersedia menjadi nara sumber atau relawan/relawati fasilitator.


Lokasi Sumber Bahan dan Diskus di Internet
Beberapa sumber berikut di internet saat ini dapat dimanfaatkan. Saya usulkan, pembagian pemanfaatan sumber daya tersebut adalah sebagai berikut:

  • Situs http://www.sin.web.id/ mudah-mudahan dapat dikembangkan terus sebagai ”situs resmi” tentang sistem inovasi di Indonesia (dikelola oleh KNRT);
    Jika Anda jelajahi blog ini dan dua blog terkait lain (http://sistem-inovasi.blogspot.com/ dan http://sisteminovasi.wordpress.com/), dapat ditemukan beberapa bahan untuk diskusi awal tersebut.

  • Blog http://sistem-inovasi.blogspot.com/ dapat dimanfaatkan sebagai blog komunitas untuk mendiskusikan hal mendasar (misalnya konsep) seputar sistem inovasi (dan kebijakan inovasi tentunya) dan isu terkait lain. Referensi, tutorial, bahan pembelajaran dan sejenisnya lebih banyak dibicarakan di sini. Blog ini sebaiknya nanti dikelola oleh komunitas;

  • Blog http://sisteminovasi.wordpress.com/ dapat dimanfaatkan sebagai blog komunitas untuk mendiskusikan isu/topik aktual seputar sistem inovasi (dan kebijakan inovasi tentunya) dan isu terkait lain. Blog ini juga dikelola lebih lanjut oleh komunitas;
    Tentu saja situs resmi dan kedua blog tersebut dapat berfungsi sebagai media informasi-komunikasi yang saling melengkapi.

Selain itu, sudah ada pula lokasi forum diskusi berikut yang dapat dimanfaatkan:



Sumber Personal
Blog ini (http://tatang-taufik.blogspot.com/) merupakan blog personal yang saya kelola. Silahkan kritisi muatannya. Jangan langsung percaya, karena muatan utamanya adalah opini pribadi seputar perbaikan/pengembangan sistem inovasi, kebijakan inovasi, klaster industri, e-development, pemberdayaan masyarakat, dan isu/topik lain yang ingin saya tulis/komentari.

Jika dinilai bermanfaat, silahkan manfaatkan beberapa sumber atau taut seperti tertera pada sidebar, misalnya:

Bahan-bahan tersebut dapat diunduh, dimanfaatkan dan disebarluaskan. Semoga bermanfaat.


Catatan Tambahan
Seperti biasa, untuk memperkaya bahan informasi, Anda dapat menggunakan berbagai mesin pencari di internet. Saya kira kata kunci (keyword) yang tepat untuk topik kita adalah “sistem inovasi” dan/atau “kebijakan inovasi”. Untuk sumber dalam bahasa Inggris, gunakan “innovation system” atau “innovation policy”.

Selain menggunaan mesin pencari yang tersedia di internet, untuk melihat/menelusuri sumber daya dengan beberapa kata kunci atau bergabung dalam “jaringan” dalam topik tertentu Anda juga dapat mengunjungi:



Direktori Blog dan Library:

Banyak tersedia, silahkan coba di antaranya:


Semoga bermanfaat . . . . .

Baca Selanjutnya...

Rabu, Oktober 01, 2008

Mari Menggalang Pertukaran informasi dalam Mendorong Pengembangan Sistem Inovasi Daerah

Hari Iedul Fitri memberi pelajaran banyak. Memelihara tali silaturahmi adalah salah satunya. Mendatangi atau didatangi handali taulan untuk saling memaafkan merupakan bagian dari tradisi kita di hari itu. Kita juga terbantu dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam menyambung tali persaudaraan tersebut (walaupun SMS terkadang terganggu persoalan jaringan).

Di sela rehat bertemu sanak saudara, saya jadi teringat usulan saya terkait dengan isu 1, khususnya tentang “Peningkatan kapasitas pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingan tentang sistem inovasi” dan “Membangun komunitas praktik sistem inovasi, menghimpun dan menyebarluaskan praktik baik, meningkatkan kajian dan pembelajaran kebijakan inovasi.”
Pertukaran informasi, pengalaman, pengetahuan tentang bagaimana mengembangkan /memperkuat sistem inovasi pada tataran daerah. Ini mudah-mudahn dapat membantu proses peningkatan kapasitas kita dalam hal ini. Selain itu, upaya demikian juga sebenarnya penting dalam mengawali proses “penyelarasan” kebijakan. Pada tahap tersebut memang “koordinasi” [maaf, tidak perlu alergi dengan istilah ini] semakin dituntut. Tetapi tak perlu khawatir tentang “ikatan” apa-apa, baik harus “dikoordinasikan” ataupun “mengkoordinasikan.”. Saya hanya sekedar memberi gambaran bahwa proses demikian merupakan bagian penting dan harus dilalui jika kita menghendaki kebijakan yang semakin baik.

Dalam “pendekatan” koordinasi itu sendiri dikenal dua ekstrim “koordinasi yang ketat” (tight coordination), yang mengharuskan para pihak patuh pada ketentuan yang mengikat (yang bersifat mandatory) dan “koordinasi yang longgar” (loose coordination) yang memungkinkan para pihak boleh” memilih sikap dan tindakannya terhadap “ketentuan” (yang bersifat sukarela/voluntary). Nah, insya Allah, kelak kita akan dapat belajar bagaimana keduanya dilakukan sebagai kombinasi terbaik dalam menggali dan merumuskan kebijakan yang tepat. Kita dapat belajar metode yang dalam bahasa “teknis”-nya disebut dengan “Metode Koordinasi Terbuka/MKT” (Open Method of Coordination/OMC).

Namun sebagai tahap awal, saya ingin mengajak Anda semua yang memiliki kesungguhan berpartisipasi, untuk memulai langkah awal “kecil.” Seperti saya sebutkan di judul artikel ini, kita galang pertukaran informasi. Ini usul saya.

Silahkan buat/kembangkan “simpul informasi-komunikasi” dengan menggunakan internet. Mungkin dengan suatu blog bisa sangat membantu. Silahkan blog tersebut dimuati dengan opini Anda (dan jika dimungkinkan juga rekan-rekan Anda) tentang sistem inovasi di daerah Anda sendiri. Ini bisa berupa data/indikator tertentu yang relevan, analisis, opini, dan muatan relevan lainnya. Tak perlu terlampau khawatir dengan format. Kembangkan dengan bebas. Kalau mau, Anda dapat mengisinya dengan beberapa topik bahasan dengan bekal penggambaran seperti telah disampaikan dalam “Tutorial Pengembangan Sistem Inovasi” .

Jika menurut Anda memudahkan, penulisan alamat blog bisa dibuat misalnya seperti (http://sid-[nama_daerah].blogspot.com, misalnya http://sid-kabtegal.blogspot.com). Anda bisa membuatnya di http://www.blogspot.com/ atau di wordpress.com atau lokasi lainnya. Tapi ini sekedar anjuran saja. Jika Anda kehendaki, blog tersebut akan saya taruh pada bagian blogroll di blog ini atau di http://sistem-inovasi.blogspot.com/ atau http://sisteminovasi.wordpress.com/.

Siapa mau berprakarsa? Silahkan kontak saya atau isi komentar di posting ini. Terimakasih.

Baca Selanjutnya...

Minggu, September 28, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi: Isu 1 (lanjutan 2)

Melanjutkan obrolan isu 1 sebelumnya . . .

Langkah penting lain yang perlu dilakukan adalah membangun komunitas praktik (community of practices) sistem inovasi, menghimpun dan menyebarluaskan praktik baik, meningkatkan kajian dan pembelajaran kebijakan inovasi. Jejaring antarpihak yang tidak saja memiliki "minat" namun juga sebagai "pelaku" (langsung ataupun tidak langsung) sangat penting; Ini dapat berupa jejaring antarorang, antarlembaga/organisasi, antardaerah, maupun kombinasinya. Pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang baik tentu akan membantu proses pembelajaran. Banyak contoh yang telah dilakukan di negara lain. Di antara yang mungkin dapat kita adopsi adalah apa yang dilakukan oleh Uni Eropa. Silahkan dipelajari. Saya yakin banyak pelajaran positif yang dapat kita petik dari sana.

Upaya ketiga adalah mempercepat pengarustamaan sistem inovasi dalam kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Maksudnya, pemuatan pendekatan sistem inovasi dan perbaikan kebijakan inovasi mestinya menjadi bagian integral dari konsep/rencana atau agenda strategis pembangunan, baik pada tataran nasional maupun daerah. Jika tidak, ya hanya sekedar "kosmetik" pembangunan saja, dan akan kehilangan ”ruh” reformasi yang menuju peningkatan daya saing dan penguatan kohesi sosial.


Kita belajar, banyak konsep yang berhasil di negara lain tetapi tak begitu menggembirakan ketika diimplementasikan di Indonesia. Sebagian (mungkin sebagian besar) saya kira terjadi lebih karena ”kurang seriusnya dan istiqomah (konsistennya)” kita mengimplementasikannya. Perlu contoh? Tengok misalnya tentang modal ventura (venture capital), inkubator, klaster industri, insentif pajak untuk litbang, dan masih banyak lagi . . . .

Nah, dalam langkah ketiga yang saya usulkan ini, perlu dilakukan melalui upaya antara lain seperti:

  • Mendorong agar pengembangan sistem inovasi menjadi konsensus politik berkelanjutan dan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Pengembangan/penguatan sistem inovasi merupakan proses panjang, yang keberhasilannya sangat ditentukan oleh kehendak politik (political will), konsensus politik, dan komitmen politik dalam waktu yang panjang sehingga menjadi suatu politik negara dan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional dan daerah, bukan sekedar agenda pelengkap dalam pembangunan. Bayangkan kalau setiap perubahan pemerintahan yang mungkin diwarnai oleh perubahan kekuatan politik, kita harus selalu kembali dan memulai dari “titik nol”, berdebat ulang perlu-tidaknya kita memperkuat sistem inovasi di Indonesia . . . .
  • Menyelaraskan kebijakan iptek dan kebijakan pembangunan lainnya, khususnya pembangunan ekonomi, sosial budaya dan hukum. Mengapa demikian? Karena kebijakan inovasi yang esensinya membutuhkan koherensi kebijakan sektoral, kebijakan nasional-daerah, dan penadbiran (governance) sistem inovasi yang sesuai, tidak akan dapat efektif jika kebijakan iptek dan kebijakan pembangunan lainnya masih bersifat parsial, terfragmentasi, tidak konsisten dan bahkan bertentangan satu dengan lainnya. Penyelarasan kebijakan perlu dilakukan pada berbagai tataran dan cara, baik melalui upaya yang lebih bersifat top-down bottom-up, maupun proses partisipatif yang demokratis, transparan, akuntabel, dan adil.

Keempat, membangun basis data dan indikator sistem inovasi. Penataan mendasar yang perlu dilakukan termasuk penataan/pengembangan basisdata di tingkat nasional dan daerah berkaitan dengan sistem inovasi. “Kelemahan data” merupakan kelemahan umum bagi perencanaan dan kebijakan di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah. Maaf, kondisi kelemahan data di berbagai bidang seperti ini sering bikin saya gregetan [mungkin sebagian peneliti] . . .

Kelima, mengupayakan konsensus untuk melakukan reformasi kebijakan inovasi yang berfokus pada isu prioritas. Mengapa? Setiap negara (atau daerah) dan tingkatan perkembangan (stages of development) dihadapkan pada tantangan sistem inovasi yang berbeda. Dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi, tidak berlaku pendekatan one size fits all. Upaya pengembangan/penguatan sistem inovasi memang dapat memanfaatkan “pelajaran” dari pihak lain (daerah/negara lain), termasuk memanfaatkan praktik-praktik baik/terbaik (good/best practices). Para pihak pun sebenarnya tidak perlu “terjebak” dalam reinventing the wheel. Akan tetapi segi-segi positif universal yang diperoleh (dari keberhasilan/kegagalan) tetap memerlukan “penyesuaian” kontekstual sesuai dengan karakteristik dan perkembangan masing-masing “kasus” negara/daerah. Karena itu, langkah reformasi kebijakan inovasi perlu berfokus pada isu-isu prioritas sesuai kondisi/konteksnya dan diletakkan dalam perspektif jangka panjang.

Wallahu alam bissawab . . .


Ini esensi utama usulan saya berkaitan dengan isu strategis 1 dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi di Indonesia.
Insya Allah saya lanjutkan di lain kesempatan . . .

Baca Selanjutnya...

KOMENTAR TERAKHIR

TTM => Teman-Teman Mem-blog

Creative Commons License
Blog by Tatang A Taufik is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 United States License.
Based on a work at tatang-taufik.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://tatang-taufik.blogspot.com/.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP