Tampilkan postingan dengan label isu kebijakan inovasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label isu kebijakan inovasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Januari 10, 2009

Technology Clearing House

Banyak pihak menilai bahwa suatu technology clearing house memiliki peran yang sangat penting. Tapi apa sebenarnya dan siapa yang mengelolanya? Saya ingin mengawali diskusi ini dengan penjelasan singkat.
Technology clearing house pada dasarnya adalah suatu lembaga atau organisasi (atau pengorganisasian) yang :

  1. Berperan melakukan clearance test bagi teknologi. Jadi dalam hal ini, lembaga tersebut berperan (diberi kewenangan) untuk menilai dan menyatakan bahwa suatu teknologi “laik” untuk diterapkan di suatu negara atau untuk konteks tertentu di suatu negara; dan/atau
  2. Berperan memfasilitasi penghimpunan dan pertukaran informasi, keahlian dan/atau produk teknologi tertentu.

Mudah-mudahan skema ini dapat membantu sedikit memberikan gambaran tentang technology clearing house.

Mengapa penting? Adanya peran technology clearing house demikian pada dasarnya diperlukan untuk (atas dasar) kepentingan nasional (national interest), seperti kepentingan publik tertentu (misalnya kesehatan, keamanan, dan keselamatan), kemandirian teknologi, pengembangan industri dalam negeri, peningkatan efektivitas, efisiensi dan keterpaduan difusi teknologi (termasuk informasi teknologi), dan lainnya. Bagi komunitas pengguna teknologi, adanya organisasi yang menjalankan technology clearing house dapat memfasilitasi akses (dalam arti tingkat kemudahan, keterjangkauan, kecepatan) terhadap informasi teknologi dan pemanfaatan teknologi itu sendiri, dan/atau kepakaran yang terkait dengan teknologi. Jadi, tentunya technology clearing house memiliki peran penting dalam pengembangan atau penguatan sistem inovasi di suatu negara [silahkan lihat-lihat kembali beberapa artikel tentang ini di blog ini atau blog sistem inovasi].
Technology clearing house bisa beroperasi dalam spektrum bidang teknologi yang luas atau spesifik.
Lantas siapa yang dapat menjalankan peran sebagai technology clearing house? Ini tentu bisa berdasarkan peryimbangan peraturan perundangan, bisa karena kompetensi yang diakui dan memperoleh pengakuan atau menjadi konsensus komunitas tertentu, atau kombinasinya.
Bagaimana pendapat Anda? Siapa yang sebaiknya menjalankan peran sebagai technology clearing house di Indonesia?

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 27, 2008

Lomba Posting tentang Mendorong Kreativitas - Inovasi

Kreativitas dan keinovasian sangat penting dalam berbagai bidang, termasuk perbaikan bisnis, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Saya mengajak Anda rekan-rekan blogger Indonesia, untuk menulis artikel singkat mengenai gagasan atau pemikiran Anda “bagaimana mendorong kreativitas/keinovasian atau budaya kreatif-inovatif di daerah Anda”.


Tanda Apresiasi
Sebagai tanda apresiasi saya, saya akan kirimkan sebuah buku yang pernah saya tulis berjudul “Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan”, yang diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) tahun 2005.





Buku tersebut akan saya hadiahkan kepada 5 (lima) artikel terbaik menurut penilaian saya dan memenuhi persyaratan berikut.

Persyaratan

  1. Artikel yang ditulis bukan artikel milik orang lain.
  2. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia (dapat berupa hasil tulisan sendiri atau bersama).
  3. Artikel diposting di blog yang Anda miliki [catatan : tidak ada batasan jumlah kata dalam artikel].
  4. Daftarkan diri Anda dan beritahukan artikel yang Anda tulis kepada saya dalam kolom Komentar di bawah. Saya akan mengunjungi blog Anda secepatnya.
  5. Batas waktu penulisan posting adalah tanggal 15 Januari 2009 [posting sudah dapat dilihat sebelum tanggal 15 Januari 2009].
  6. Untuk memudahkan komunikasi kelak, mohon beritahu saya tentang identitas penulis yang jelas, bukan nama samaran. Jika Anda keberatan dengan nama asli dalam blog, Anda dapat memberitahukannya kepada saya kelak melalui email.
  7. Keputusan saya tentang pemenang tidak dapat diganggu gugat [kan namanya juga opini pribadi he he . .].

Pemenang akan diumumkan selambat-lambatnya tanggal 18 Januari 2009 di blog ini, di sistem inovasi, di klaster industri, dan di weblog sistem inovasi.

Semoga tulisan Anda bermanfaat dalam ikut serta mendorong kreativitas-keinovasian dan/atau budaya kreatif-inovatif di daerah Anda dan di Indonesia.
Selamat berlomba.
Tetap semangat untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Salam

Baca Selanjutnya...

Selasa, Desember 16, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [Bagian 3]

Tulisan ini merupakan bagian akhir sebagai lanjutan dari artikel di posting sebelumnya. Muatan tentang topik ini dapat dilihat dalam buku yang saya tulis [2005] berjudul "Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan".

3. Kegagalan Sistemik (Systemic Failures)
Paradigma sistem yang mencermati ”sistem inovasi” membawa pada argumen kegagalan sistemik, selain kegagalan pasar (dan kegagalan pemerintah) yang pada dasarnya telah dikenal dalam arus utama ekonomi, sebagai landasan bagi pengembangan kebijakan inovasi.
Kegagalan sistemik pada dasarnya merupakan keadaan di mana suatu (beberapa) sistem “terperangkap” dalam kondisi tidak ideal karena faktor pasar maupun non-pasar, tidak adanya atau tidak bekerjanya fungsi tertentu dalam sistem, atau sebab-sebab penting lain yang sangat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi proses atau kinerja sistem.
Dalam konteks sistem inovasi, kebijakan inovasi [baca = kebijakan untuk mendorong perkembangan sistem inovasi] pada prinsipnya mengkomplementasi perusahaan dan pasar, bukan menggantikan atau menduplikasinya. Dalam hal ini, menurut Edquist (1999, 2001), setidaknya terdapat empat kategori kegagalan sistem (yang sebagian berhimpitan satu dengan lainnya), yaitu:

  1. Fungsi-fungsi dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada;
  2. Organisasi-organisasi yang ada tidak sesuai atau organisasi yang diperlukan tidak ada;
  3. Kelembagaan yang ada tidak sesuai atau kelembagaan yang diperlukan tidak ada; atau
  4. Interaksi atau keterkaitan antarelemen dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada.

Sementara itu, Smith (2000, 1996) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang mendasari perlunya intervensi pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem inovasi, yaitu:

  1. Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in infrastructural provision and investment) : Ini misalnya menyangkut infrastruktur fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan komunikasi) maupun yang berkaitan dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga teknis yang didukung oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau bahkan kementerian dalam pemerintah.
  2. Kegagalan transisi (transition failures) : Ini misalnya berkaitan dengan persoalan-persoalan serius yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi. Menurut Smith, banyak kebijakan publik yang dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengatasi isu-isu demikian namun seringkali tanpa alasan yang eksplisit.
  3. Lock-in failures : Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan beralih dari teknologi yang digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem perekonomian secara keseluruhan yang dapat “terkunci atau terperangkap” (locked-in) dalam paradigma teknologi tertentu. Lembaga-lembaga eksternal, dengan kemampuan untuk membangkitkan insentif, untuk mengembangkan alternatif-alternatif teknologi, dan untuk menumbuhkembangkan sistem-sistem teknologi yang baru (emerging) sangat diperlukan.
  4. Kegagalan institusional : sehimpunan terpadu dari lembaga publik dan swasta, sistem regulasi (regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut mempengaruhi konteks ekonomi dan perilaku teknis secara keseluruhan akan membentuk peluang teknologis dan kapabilitas perusahaan. Kegagalan dalam sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi inovasi yang berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan dalam perundangan HKI.

Kompleksnya sistem inovasi turut mendorong argumen dengan perspektif (dan tekanan) yang tak selalu persis sama yang diajukan berkaitan dengan perlunya kebijakan inovasi. Arnold dan Boekholt (2002) misalnya lebih menekankan isu argumen berikut:

  1. Kegagalan kapabilitas (capability failures) : Hal ini berkaitan dengan kemampuan perusahaan bertindak demi kepentingan terbaiknya karena keterbatasan manajerial, kurangnya pemahaman teknologi, kelemahan kemampuan pembelajaran atau kapasitas absorpsi untuk memanfaatkan teknologi yang berasal dari luar perusahaan.
  2. Kegagalan dalam lembaga (failures in institutions) : kegagalan dalam berbagai organisasi, baik bisnis maupun non-bisnis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pengetahuan menghambat perkembangan inovasi dan pertumbuhan. Demikian juga kegagalan berinvestasi dalam lembaga-lembaga pengetahuan.
  3. Kegagalan jaringan (network failures) : Hal ini berkaitan dengan interaksi antaraktor, baik karena jumlah dan kualitas keterkaitan yang rendah (misalnya karena tidak berkembangnya rasa saling percaya atau keterisolasian para aktor dari konteks sosial), maupun transition failures dan lock-in failures (di mana sistem inovasi ataupun klaster industri tidak mampu memanfaatkan peluang teknologi baru atau terperangkap dalam teknologi yang lama).
  4. Kegagalan kerangka kerja (framework failures) : Inovasi yang efektif akan turut bergantung pada kerangka regulasi dan kondisi lain yang melatarbelakangi inovasi (misalnya sofistikasi konsumen, nilai-nilai sosial dan budaya).

Uraian di atas menunjukkan beragam potensi bagi identifikasi dan elaborasi isu kebijakan inovasi yang perlu dicermati dalam konteks suatu sistem inovasi.

Semoga bermanfaat.

Salam.


Baca Selanjutnya...

Minggu, Desember 14, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [Bagian 2]

Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel di posting sebelumnya.

2. Kegagalan Pasar (Market Failures)
Secara umum, kegagalan pasar merupakan keadaan di mana alokasi barang dan/atau jasa oleh “pasar bebas” (free market) tidak efisien – atau dengan kata lain “mekanisme pasar” tidak bekerja dengan baik sehingga tidak membawa kepada “efisiensi ekonomi” (economic efficiency). Kegagalan pasar demikian membawa pada keadaan yang “merugikan” bagi masyarakat umum [bagi tercapainya social welfare tertinggi], walaupun [mungkin] menguntungkan sekelompok orang.
Argumen kegagalan pasar merupakan argumen ”klasik” perlunya intervensi pemerintah bagi kebijakan inovasi (termasuk kebijakan iptek). Tassey (2002, 1999) misalnya mengungkapkan salah satu bentuk kegagalan pasar terkait dengan litbang adalah fenomena “investasi yang terlampau rendah” (underinvestment) dalam pengembangan dan difusi pengetahuan/teknologi, yang menurutnya terjadi dalam empat kategori, yaitu:

  • aggregate underinvestment oleh suatu industri (misalnya rendahnya litbang keseluruhan);
  • investasi yang terlampau rendah dalam litbang terapan di perusahaan-perusahaan baru/pemula (misalnya tidak memadainya modal ventura);
  • investasi yang terlampau rendah dalam pembaharuan teknologi yang ada (inkremental) atau penciptaan teknologi baru (misalnya ketidak-memadaian riset teknologi generik);
  • investasi yang terlampau rendah dalam mendukung infrastruktur teknologi (misalnya kurangnya litbang infratechnology).

Karena proses pengembangan teknologi berlangsung secara siklus (cyclically), kegagalan pasar yang mengarah kepada investasi yang terlampau rendah cenderung berulang terus. Selain itu, beragam jenis kegagalan pasar yang berbeda biasanya terjadi dan membutuhkan pola respons dari pemerintah atau industri-pemerintah yang berbeda pula.
Sementara itu, Cornet dan Gelauff (2002), menyoroti teori dan bukti empiris yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tidak berurusan dengan seluruh biaya dan manfaat sosial dari inovasi. Karena itu maka "pasar inovasi" (the innovation market) gagal. Beberapa mekanisme menggeser insentif swasta untuk berinovasi dari insentif yang optimal secara sosial :

  1. Knowledge spillovers : pengetahuan baru “bocor/menyebar” ke perusahaan lainnya tanpa kompensasi bagi si inovator. Artinya, dalam penyebarannya, pihak inovator tidak sepenuhnya dapat melindungi pemanfaatan konsep inovasi oleh pihak-pihak lain.
  2. Rent spillovers : inovator tidak dapat menarik imbalan dari pelanggannya atas nilai sepenuhnya yang dihasilkan dari inovasi. Istilah knowledge spillovers dan rent spillovers pada dasarnya terkait dengan sifat non rivalry and non excludability dari inovasi.
  3. Kegagalan pasar asuransi (insurance market failure) : risk-averse innovator[1] tidak mampu menanggung sehimpunan risiko inovasi;
  4. Dampak pencurian bisnis (business-stealing effects) : inovasi berpotensi memperkuat posisi pelaku bisnis mencuri bisnis pesaingnya. Dampak pencurian bisnis (business-stealing effects) memperkuat insentif bagi pelaku bisnis, yang melampaui tingkat optimum sosial. Sementara itu, jenis kegagalan pasar yang lain mengurangi insentif tersebut di bawah apa yang dikehendaki oleh masyarakat.

Kegagalan pasar juga menghambat difusi inovasi dalam ekonomi, terutama menyangkut:

  1. Informasi tak sempurna (imperfect information) : pasar belum sepenuhnya memahami (terbiasa) dengan keseluruhan inovasi dan karenanya enggan untuk mengadopsi inovasi tersebut serta berinvestasi dalam perbaikan-perbaikan dari inovasi tersebut;
  2. Eksternalitas jaringan (network externalities) : nilai sosial dari inovasi bergantung pada jumlah pengguna. Karena itu, ada insentif untuk menunggu untuk mengadopsi inovasi dan menunggu berinvestasi dalam inovasi komplemennya;
  3. Kekuatan pasar (market power) : Para pengguna (pelanggan) akan berbeda dalam kesediaannya membayar (willingness to pay) atas inovasi. Oleh karena itu, inovator memulainya dengan membebankan harga tinggi kepada pengguna yang paling awal menghendaki inovasi, selanjutnya mengurangi harga secara bertahap untuk melayani pengguna-pengguna yang berikutnya. Kecepatan adopsi biasanya relatif lambat;
  4. Keunggulan pelopor (first-mover advantage) : suatu inovasi yang kecil dapat mendorong produk-produk yang ada menjadi tertinggal/kadaluarsa (obsolete). Oleh karena itu, difusi yang cepat akan lebih menarik dari perspektif inovator, namun tidak terlampau menarik bagi masyarakat.

Catatan :
[1] Inovator yang sikapnya lebih condong “menghindari risiko.”

Sekian dulu.

Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 13, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [1]

Penjelasan ini lebih saya tujukan bagi masyarakat yang "bukan ekonom." Mudah-mudahan dapat membantu pemahaman atas beberapa istilah teknis yang berkaitan dengan "kebijakan inovasi" . . .

Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan publik (public policy) pada dasarnya diperlukan manakala muncul “isu kebijakan”. Yang dimaksud dengan isu kebijakan adalah persoalan-persoalan dalam masyarakat [sebagai suatu sistem dalam pengertian umum] yang tidak dapat dipecahkan sendiri [menurut mekanisme otomatis] oleh para anggota sistem. Dengan demikian kebijakan publik atau tindakan intervensi [campur tangan] pemerintah [atau sistem pemerintahan] dianggap perlu untuk memperbaiki keadaan atau mengubah status quo.
Dalam penguatan sistem inovasi, ada 3 [tiga] kelompok argumen, yang sebetulnya saling terkait satu dengan lainnya, yang pada umumnya dinilai sebagai “argumen” adanya isu kebijakan inovasi. Kelompok argumen tersebut adalah: kegagalan pemerintah (government failures), kegagalan pasar (market failures), dan kegagalan sistemik (systemic failures). Dalam posting kali ini, saya akan diskusikan satu per satu hal tersebut secara singkat.

1. Kegagalan Pemerintah (Government Failures)
Ini lebih merupakan terminologi atau istilah teknis yang tentu tidak dapat diartikan sebagai [jangan disamakan dengan] “pemerintah yang gagal”. Kegagalan pemerintah [kadang disebut juga non-market failures] pada dasarnya adalah tindakan [intervensi] pemerintah yang mengakibatkan tidak efisiennya alokasi sumber daya dan produk [barang dan/atau jasa] dibanding dengan kondisi tanpa intervensi. Dalam ekonomi, ini sering disebut juga tindakan pemerintah yang “mendistorsi” pasar.
Kegagalan pemerintah umumnya lebih merupakan “ketidakmampuan” atau persoalan yang menghambat pemerintah bertindak efektif dan efisien dalam menangani persoalan tertentu.
Adakah “kegagalan pemerintah” seperti ini dalam pengembangan sistem inovasi? Penerapan pajak pada aktivitas inovatif [misalnya perijinan investasi/bisnis inovatif yang tidak efisien], pemberlakuan tarif tinggi pada barang-barang teknologi yang sangat diperlukan bagi pemajuan ekonomi di dalam negeri [industri setempat] atau bagi perkembangan kemajuan pendidikan/iptek, tidak efektifnya penegakan hukum dalam pelanggaran HKI, dan sejenisnya merupakan contoh dari bentuk kegagalan ini. Kegagalan demikian dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi pada dasarnya merupakan bagian dari kegagalan sistemik juga [yang akan dijelaskan belakangan].

Bersambung . . . Dilanjutkan nanti saja karena aktivitas saya saat mau posting ini "terdistorsi" oleh hal lain yang urgen . . .
Salam

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Oktober 18, 2008

Pengembangan Sistem Inovasi: Isu 2

Dalam artikel sebelumnya, saya sampaikan bahwa isu kedua dalam pengembangan sistem inovasi di indonesia adalah "Persoalan/isu pokok yang perlu dipecahkan agar sistem inovasi berkembang dan kemajuannya dapat dipercepat." Berikut ulasan tentang hal ini.

Cara pandang sistem inovasi membantu kita memahami bagaimana sistem berkembang dan persoalan prioritas apa yang perlu diatasi. Di sinilah kita mencermati persoalan atau isu-isu kebijakan. Artinya kita perlu menelaah persoalan penting apa yang tidak mungkin ”terselesaikan dengan sendirinya.” Pada intinya, argumen ”kegagalan sistemik(systemic failures) dapat berbagai sumber, seperti:

  • Kegagalan pemerintah (government failures).
  • Kegagalan pasar (market failures).
  • Kegagalan sistem yang lain karena tidak adanya elemen sistem yang penting, atau tidak berfungsinya elemen sistem dan/atau tidak berkembangnya interaksi dalam sistem dengan baik.

Bentuk persoalannya dapat beragam (seperti pernah dibahas dalam buku atau makalah-makalah saya yang terkait dengan ini. Kita juga dapat mempelajari telaahan para pakar berkaitan dengan ini, yang antara lain saya cantumkan dalam daftar pustaka pada tulisan-tulisan saya tersebut).

Jika dicermati, tentu akan dapat ditulis sederet persoalan yang dihadapi oleh Indonesia (pada tataran nasional, daerah ataupun industrial/sektoral). Saya mencoba menghimpunnya dalam bentuk isu-isu generik.

Pada dasarnya, sistem inovasi dipengaruhi oleh kondisi umum yang membentuknya (baik yang bersifat alamiah maupun karena lingkungan kebijakan yang mempengaruhi). Sistem inovasi juga dipengaruhi oleh basis sistem ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek, termasuk penelitian, pengembangan dan rekayasa atau litbangyasa) dan sistem produksi dalam perekonomian, beserta interaksi yang terjadi di dalamnya dan di antaranya. Sistem inovasi pada tataran nasional ataupun daerah sangat ditentukan oleh perkembangan sosio kultural yang berkembang dalam masyarakatnya. Kita pun belajar bahwa keberhasilan negara atau daerah, “dibawa/ditentukan” oleh leadership (termasuk political will), kesungguhan, dan komitmen para pelaku sistem (pelaku bisnis, penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan lain) dalam menggali, mengembangkan dan memanfaatkan potensi terbaik yang dimiliki. Yang juga sangat penting adalah bahwa sistem inovasi tentu saja tak terlepas dari pengaruh perkembangan global (artinya, pengaruh dinamika perubahan, yang bersifat lokal hingga internasional).

Karena itu, menurut hemat saya, sistem inovasi di Indonesia setidaknya menghadapi isu kebijakan inovasi (persoalan sistemik) yang saya kelompokkan dalam 6 isu kebijakan, yaitu (penjelasan lebih detail dapat dilihat dalam buku atau tulisan saya yang terkait):

  1. Kelemahan kerangka/kondisi umum yang mempengaruhi sistem inovasi.
  2. Kelemahan kelembagaan dan daya dukung iptek serta rendahnya kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM).
  3. Kelemahan dalam keterkaitan, interaksi dan kerjasama difusi inovasi. Dalam hal ini termasuk difusi praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbang.
  4. Persoalan budaya inovasi.
  5. Kelemahan dalam fokus, rantai nilai, kompetensi dan sumber pembaruan ekonomi dan sosial.
  6. Tantangan global.

Jadi menurut saya, persoalan yang telah disebutkan merupakan enam persoalan sistemik (isu kebijakan inovasi) yang bersifat generik yang saat ini dihadapi oleh kita, baik pada tataran daerah secara umum, industrial/sektoral ataupun nasional.

Kalau saja kita mampu mengatasi/memecahkan keenam isu kebijakan inovasi tersebut secara serentak dan bertahap dalam periode lima tahun pembangunan ke depan, maka insya Allah, ini akan membawa kita kepada kondisi sistem inovasi Indonesia yang memiliki fondasi yang cukup kuat untuk berkembang ke tahapan berikutnya.

Saya katakan perlu dipecahkan serentak, karena persoalan sistemik kebijakan inovasi tersebut tidak bisa lagi hanya sekedar dilakukan secara parsial, terfragmentasi. Saya katakan bertahap, karena tentu saja kita tidak mungkin kita mengatasi kompleksitas isu kebijakan tersebut dengan serta-merta atau sesaat. Sistem inovasi perlu berproses dan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri (beradaptasi), mengembangkan kapasitasnya dan kultur yang semakin baik.

Pelajaran yang dapat kita petik antara lain adalah bahwa untuk dapat mengembangkan/memperkuat sistem inovasi, kita perlu melakukannya secara sistemik dan sistematik. Alangkah naifnya jika kita selalu (atau masih) beranggapan bahwa hal demikian bisa dilakukan hanya oleh satu departemen/kementerian atau lembaga saja.

Wallahu alam bissawab . . .

Bersambung.

Baca Selanjutnya...

KOMENTAR TERAKHIR

TTM => Teman-Teman Mem-blog

Creative Commons License
Blog by Tatang A Taufik is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 United States License.
Based on a work at tatang-taufik.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://tatang-taufik.blogspot.com/.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP