Selasa, Desember 16, 2008

Argumen Isu Kebijakan Inovasi [Bagian 3]

Tulisan ini merupakan bagian akhir sebagai lanjutan dari artikel di posting sebelumnya. Muatan tentang topik ini dapat dilihat dalam buku yang saya tulis [2005] berjudul "Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan".

3. Kegagalan Sistemik (Systemic Failures)
Paradigma sistem yang mencermati ”sistem inovasi” membawa pada argumen kegagalan sistemik, selain kegagalan pasar (dan kegagalan pemerintah) yang pada dasarnya telah dikenal dalam arus utama ekonomi, sebagai landasan bagi pengembangan kebijakan inovasi.
Kegagalan sistemik pada dasarnya merupakan keadaan di mana suatu (beberapa) sistem “terperangkap” dalam kondisi tidak ideal karena faktor pasar maupun non-pasar, tidak adanya atau tidak bekerjanya fungsi tertentu dalam sistem, atau sebab-sebab penting lain yang sangat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi proses atau kinerja sistem.
Dalam konteks sistem inovasi, kebijakan inovasi [baca = kebijakan untuk mendorong perkembangan sistem inovasi] pada prinsipnya mengkomplementasi perusahaan dan pasar, bukan menggantikan atau menduplikasinya. Dalam hal ini, menurut Edquist (1999, 2001), setidaknya terdapat empat kategori kegagalan sistem (yang sebagian berhimpitan satu dengan lainnya), yaitu:

  1. Fungsi-fungsi dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada;
  2. Organisasi-organisasi yang ada tidak sesuai atau organisasi yang diperlukan tidak ada;
  3. Kelembagaan yang ada tidak sesuai atau kelembagaan yang diperlukan tidak ada; atau
  4. Interaksi atau keterkaitan antarelemen dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada.

Sementara itu, Smith (2000, 1996) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang mendasari perlunya intervensi pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem inovasi, yaitu:

  1. Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in infrastructural provision and investment) : Ini misalnya menyangkut infrastruktur fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan komunikasi) maupun yang berkaitan dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga teknis yang didukung oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau bahkan kementerian dalam pemerintah.
  2. Kegagalan transisi (transition failures) : Ini misalnya berkaitan dengan persoalan-persoalan serius yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi. Menurut Smith, banyak kebijakan publik yang dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengatasi isu-isu demikian namun seringkali tanpa alasan yang eksplisit.
  3. Lock-in failures : Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan beralih dari teknologi yang digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem perekonomian secara keseluruhan yang dapat “terkunci atau terperangkap” (locked-in) dalam paradigma teknologi tertentu. Lembaga-lembaga eksternal, dengan kemampuan untuk membangkitkan insentif, untuk mengembangkan alternatif-alternatif teknologi, dan untuk menumbuhkembangkan sistem-sistem teknologi yang baru (emerging) sangat diperlukan.
  4. Kegagalan institusional : sehimpunan terpadu dari lembaga publik dan swasta, sistem regulasi (regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut mempengaruhi konteks ekonomi dan perilaku teknis secara keseluruhan akan membentuk peluang teknologis dan kapabilitas perusahaan. Kegagalan dalam sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi inovasi yang berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan dalam perundangan HKI.

Kompleksnya sistem inovasi turut mendorong argumen dengan perspektif (dan tekanan) yang tak selalu persis sama yang diajukan berkaitan dengan perlunya kebijakan inovasi. Arnold dan Boekholt (2002) misalnya lebih menekankan isu argumen berikut:

  1. Kegagalan kapabilitas (capability failures) : Hal ini berkaitan dengan kemampuan perusahaan bertindak demi kepentingan terbaiknya karena keterbatasan manajerial, kurangnya pemahaman teknologi, kelemahan kemampuan pembelajaran atau kapasitas absorpsi untuk memanfaatkan teknologi yang berasal dari luar perusahaan.
  2. Kegagalan dalam lembaga (failures in institutions) : kegagalan dalam berbagai organisasi, baik bisnis maupun non-bisnis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pengetahuan menghambat perkembangan inovasi dan pertumbuhan. Demikian juga kegagalan berinvestasi dalam lembaga-lembaga pengetahuan.
  3. Kegagalan jaringan (network failures) : Hal ini berkaitan dengan interaksi antaraktor, baik karena jumlah dan kualitas keterkaitan yang rendah (misalnya karena tidak berkembangnya rasa saling percaya atau keterisolasian para aktor dari konteks sosial), maupun transition failures dan lock-in failures (di mana sistem inovasi ataupun klaster industri tidak mampu memanfaatkan peluang teknologi baru atau terperangkap dalam teknologi yang lama).
  4. Kegagalan kerangka kerja (framework failures) : Inovasi yang efektif akan turut bergantung pada kerangka regulasi dan kondisi lain yang melatarbelakangi inovasi (misalnya sofistikasi konsumen, nilai-nilai sosial dan budaya).

Uraian di atas menunjukkan beragam potensi bagi identifikasi dan elaborasi isu kebijakan inovasi yang perlu dicermati dalam konteks suatu sistem inovasi.

Semoga bermanfaat.

Salam.


7 comments:

Anonim,  Rabu, Desember 17, 2008 9:38:00 AM  

Tentang argumen isu kebijakan inovasi, Terus terang saya belum bisa memberikan komentar yang spesifik karena saya belum selesai membaca ketiga tulisan anda. baru yg ketiga yg sudah saya baca. bagaimanapun tulisan ini sangat menrik...

FATAMORGANA Jumat, Desember 19, 2008 9:43:00 AM  

kok, saya gak bisa follow blog kamu ya? mau jadi pengikut blog ini.

private business Rabu, Desember 24, 2008 11:08:00 PM  

da sumuhun atuh ayeunamah, kabijakan pemerintah teh teu leres pisan, cobi tingal di lingkungan pendidikan... teu sami sareng kabijakan anu tos di pasihkeun ti lingkungan pusat dugi kalingkungan operasional... teu sami kang... menurut pemahaman baige, duka kedah kumaha iyeuteh negara urang teh, bad kamana pamnarentah nyandakna, bagus kang postingnya, milarian deui nu langkung sae...

Anonim,  Jumat, Januari 02, 2009 5:28:00 PM  

kita ini sukanya selalu salah kaprah. inovasi selalu dihubungkan dgn segala sesuatu yg hitech. padahal, inovasi adalah suatu pemikiran, bukan produk. kemudian, inovasi selalu dihubungkan dgn segala sesuatu yg nilainya tinggi seperti barang2 elektronik, komputer, kendaraan bermotor, pesawat, pembangkit energi, dan lain-lain. padahal, ketika joko soetrisno menciptakan alat penghemat bbm (catalyzer), itu sdh bisa disebut inovasi. atau misalnya teknik baru mengolah pupuk organik, itu juga inovasi. sayangnya, justru yg spt ini dianggap hy kebetulan semata.

satu hal yg plg penting adl peran dan sikap pemerintah. joko soetrisno yg menciptakan catalyzer justru tdk digandeng oleh pertamina. ini adl suatu kesalahan yg besar jk dihubungkan dgn isu kebijakan inovasi.

Tatang Taufik Jumat, Januari 02, 2009 5:42:00 PM  

@ Mbak Putty, mbak Fata, Teteh private, mas Leo : thanks komentarnya.
Inovasi memang tdk hrs yang "canggih2". Pembaruan (dg penerapan pertama kali) yg memberikan kemanfaatan signifikan merupakan inovasi, jika sdh menyangkut penyebarluasan disebut difusi.
Tentang "kasus" pak Joko : maaf saya tdk bahas jauh, banyak informasi yg saya tidak tahu.

Anonim,  Kamis, Januari 15, 2009 7:30:00 AM  

Menelaah sebentar

KOMENTAR TERAKHIR

TTM => Teman-Teman Mem-blog

Creative Commons License
Blog by Tatang A Taufik is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 United States License.
Based on a work at tatang-taufik.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://tatang-taufik.blogspot.com/.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP